Kisah..
(It’s all about Love, Patience, and Sincerity)
Rumahku
adalah surgaku. Barangkali semboyan inilah yang sering dipakai untuk
menggambarkan kehidupan berkeeluarga yang tentram dan harmonis. Tetapi, apakah
memang selalu benar dan nyata adanya bahwa semua keluarga selalu dipenuhi
dengan cinta dan kasih sayang? Ya, pada dasarnya sebuah keluarga memang
dibangun atas dasar cinta. Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan untuk
dijadikan istrinya juga atas dasar cinta.
Sebuah
ikrar janji suci pada saat ijab kabul sebetulnya menjadi satu janji yang paling
fundamental untuk seumur hidup yang semestinya dipegang kuat-kuat dan menjadi
bukti nyata bahwa mereka disatukan atas dasar niat yang suci, cinta yang suci,
yang dianugrahkan oleh Tuhan, dan menjadi pengingat akan doa mereka ketika itu
agar bisa menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah. Pengingat
disaat masalah-masalah kecil mulai bermunculan, saat keduanya sama-sama mulai
mengerti apa sesungguhnya makna dari “menerima apa adanya” ketika menyadari
bahwa pasangannya mempunyai kekurangan yang tidak diketahui sebelumnya.
Kenyataan tersebut yang kemudian sering dibahasakan dengan ungkapan, “Kau telah
banyak berubah!” atau “Kau tidak seperti dulu ketika kita belum menikah!”.
Doa
pernikahan tersebut semestinya menjadi janji dan pengingat bahwa sebenarnya
untuk mewujud menjadi sebuah kelurga yang -sakinah mawaddah wa rahmah-
dibutuhkan perjuangan yang tidak mudah, dibutuhkan pengertian yang tidak
sederhana, dibutuhkan pemahaman yang tidak sepele, tapi sekali lagi itu butuh
perjuangan yang berat dan sangat berat.
Berikut
ada sebuah cerita,
Konon,
ada sebuah rumah yang dihuni oleh sepasang suami istri yang baru menikah dan
ibu dari suami tersebut. Mereka hanya tinggal bertiga. Dan entah mengapa sang
mertua sangat tidak suka pada menantunya, meskipun menantunya merasa tidak ada
yang janggal dengan dirinya, tapi ibu mertua tetap bersikap memperlihatkan ketidak
sukaannya. Ibu mertua selalu menyindir menantunya dengan ungkapan yang
menyakitkan hati menantunya. Diapun sering menceritakan hal-hal sepele mengenai
kekurangan sang menantu pada tetangga-tetangganya. Walhasil banyak
tetangga yang tahu dan akhirnya menyimpulkan
bahwa hubungan mereka benar-benar tidak harmonis, banyak anggapan-anggapan
miring dari banyak orang mengenai sang menantu yang membuatnya sedih dan merasa
sakit hati.
Sang
menantu sudah seringkali menceritakan hal itu pada suaminya, akan tetapi
suaminya juga tidak bisa berbuat banyak, mengingat sang ibu memang memiliki
watak yang keras dan tempramental. Suaminya hanya bisa menyarankan agar istrinya
sabar menghadapi ibunya. Namun, kondisi tersebut tak jua selesai. Ibu mertua tetap dengan sikapnya membenci
menantunya. Sang menantupun sepertinya sudah tidak bisa lagi menahan
kesabarannya atas perlakuan ibu mertuanya tersebut. Dia menjadi begitu membenci
ibu mertuanya. Dia sudah tidak bisa diam atas semua perlakuan itu. Dia begitu
dendam pada ibu mertuanya tersebut sampai-sampai berniat ingin menghabisi nyawa
ibu mertuanya. Karna dia berpikir itulah cara satu-satunya agar berakhir
deritanya. Akhirnya diam-diam, dia memutuskan untuk pergi pada seorang peramu
obat untuk ‘menyelesaikan masalahnya’.
Diapun
mengutarakan semuanya pada peramu obat tersebut. Dia menginginkan ramuan racun
yang dapat mematikan ibu mertuanya sehingga ia terlepas dari nestapa yang
selama ini mengurungnya. Peramu obat itupun mengerti, dan dia bertanya padanya
“apakah kau yakin dengan ini masalahmu bisa selesai? Apakah kau yakin aku dapat
membantumu?”. Sang menantu itupun menjawab, “Ya, aku sangat yakin hanya ini yang dapat
menyelesaikan masalahku, dan jelas dalam hal ini kau membantuku menyelesaikan
masalahku. Maka aku akan sangat berterima kasih padamu. Berapapun kamu minta
imbalan, akan aku berikan.”. Peramu obat itu mengangguk dan dia meminta waktu
untuk membuatkan racikannya.
Beberapa
saat kemudian peramu obat itu keluar memberikannya sebotol kecil ramuan yang
terbungkus plastik hitam. Dia menjelaskan caranya agar nantinya niat tersebut tidak
mencurigakan semua orang sehingga sang menantu bebas dari tuduhan apapun jika
terjadi apa-apa dengan ibu mertuanya. Diapun mengangguk senang dan puas akan menjalankan rencananya tersebut.
Dia
mengingat betul saran-saran yang diberikan peramu obat tersebut. Obat itu hanya
akan berfungsi setelah dikonsumsi rutin selama enam bulan. Sehingga dia harus
memastikan ibu mertuanya mengkonsumsinya setiap hari. Peramu itupun menyarankan agar selama itu, dia harus
bersikap baik pada ibu mertuanya agar nantinya dia tidak dicurigai jika terjadi
sesuatu dengannya. Karena orang-orang pasti akan menuduhnya atas dasar
permusuhan antara anak dan ibu mertua tersebut. Dan satu lagi, apapun perlakuan
ibu mertuanya, dia harus membalasnya dengan sikap terbaik dan harus selalu
tersenyum ketika berhadapan dengan ibu mertuanya. Sang menantu mengiyakan dan
dia sangat senang membayangkan hasilnya.
Keesokan
harinya, dia mulai menjalankan misinya, sesuai aturan dari sang peramu obat. Pagi-pagi
dia memasak makanan kesukaan ibu mertuanya dan menghidangkannya seporsi bersama
minumannya, dan tidak lupa dia telah menaburkan ramuan obat tersebut. Begitupun
seterusnya, sang menantulah yang selalu menghidangkan makanan untuk ibu
mertuanya setiap hari dan setiap waktu makan. Dan setiap kali dia dimaki-maki,
sang menantu hanya diam atau justru membalas dengan kata-kata yang baik. Diapun
selalu menuruti apa yang diperintahkan oleh ibu mertuanya. Dia mencoba
berpura-pura menjadi baik dan dia sangat berhati-hati bersikap pada ibu
mertuanya. Hal itu berlangsung setiap hari terus-menerus bahkan sampai ia
terbiasa melakukannya dengan sangat baik.
Satu
bulan, dua bulan, tiga bulan, empat bulan, lima bulan, dan hampir enam bulan
telah berlalu, obat itu telah dikonsumsi rutin oleh ibu mertuanya, namun ada
hal yang menggetarkan batinnya ketika menyadari bahwa sang ibu mertua telah berubah
drastis dalam menyikapinya. Ia menjadi baik bahkan sangat baik, dan selalu
menyanjung-nyanjung menantunya di depan semua orang. Terkadang ibu mertuanya
sampai membelikannya baju baru, dan ia berkata pada semua orang bahwa ia
sekarang sangat menyayangi manantunya. Ia menjadi cemas luar biasa mengingat
pada genap enam bulan, ibu mertunya akan mati. Maka iapun bergegas ke peramu
obat itu, berniat untuk membatalkan semua rencananya tersebut.
Ia
menceritakan semua perlakuan ibu mertuanya saat ini dengan menangis
tersedu-sedu pada sang peramu obat, berharap ia dapat membatalkan niatnya dan
meminta ramuan penawarnya. “Ketahuilah, obat itu tidak ada penawarnya,” jelas
peramu obat. Sang menantu semakin menangis kencang dan menyesali kenapa ia tega
berbuat keji pada ibu mertunya karna ia sekarang merasa begitu menyayangi ibu
mertuanya. Sang peramu obat pun tersenyum melanjutkan kata-katanya,
“Kau
tak perlu cemas. Dan kau tak perlu meminta penawarnya. Aku kini akan
menjelaskan yang sebenarnya. Obat yang kau berikan pada ibu mertuamu itu
sesungguhnya bukanlah racun, melainkan obat itu adalah suplemen vitamin. Sehingga
tidak akan terjadi hal yang membahayakan bagi ibu mertuamu. Aku senang ternyata
masalahmu kini telah terpecahkan.”
Bukan
main senangnya hati sang menantu mendengar itu, bergegas ia pulang dan seketika
sampai di rumah ia langsung menghambur memeluk ibu mertunya, menciumi tangannya
dan berujar meminta maaf atas segala hal buruk yang mungkin mengesalkan ibu
mertuanya selama ini. Ibu mertuanya pun ikut menangis dan meminta maaf juga
pada menantunya atas semua sikap buruknya. Maka pada akhirnya, mereka pun saling
menyayangi.*
(* cerita ini didapatkan penulis dari
sebuah sumber yang dikemas dengan redaksi penulis sendiri)
Begitulah,
terkadang keburukan yang menimpa kita tidak semata karena takdir. Sehingga kita
tak bisa pasrah atas keadaan tidak nyaman yang mendera kita. Perlu adanya usaha
untuk merubah kondisi menjadi lebih baik dan menjadi seperti apa yang kita
inginkan. Dalam kisah ini, ketidak sukaan seseorang akan seseorang terkadang
terlihat tanpa sebab, namun terkadang juga karena beberapa sebab yang tidak
disadari. Jika ada yang membenci kita, maka janganlah kita hanya tinggal diam,
apalagi jika orang yang bersangkutan merupakan bagian yang penting dalam hidup
kita, yang setiap waktu dan mau tak mau kita selalu berurusan dengannya.
Meskipun
demikian, atas sebab apapun sebenarnya tak harus kita telisik lebih jauh, namun
yang harus kita lakukan adalah menghadapinya dan menyelesaikannya. Dan
jawabannya adalah dengan kebaikan yang terus menerus dan kesabaran yang tak
mengenal batas. Ya, karena memang pada dasarnya kesabaran itu tak pernah ada
batasnya. Manusialah yang seringkali membatasi sendiri kesabaran itu dengan
mengatakan ungkapan, “kesabaran ada batasnya dan kini kesabaranku sudah
habis!”. Maka jika ada yang mengatakan seperti itu berarti memang dia tak bisa
bersabar lagi. Dengan demikian, Inti dari cerita tersebut adalah pentingnya
menyelesaikan masalah dengan kesabaran, yaitu kesabaran yang tidak pasif tapi
aktif. Kesabaran yang ditumbuhkan dalam mencintai seseorang, meraih cinta
seseorang, dan mencintai dengan ketulusan.
‘Selamat mencintai untuk dicinta, dan tersenyumlah, maka
dunia akan tersenyum juga padamu.’
(Oktober,
2012)