Welcome...

"..disanalah sebuah asa dan rasa tersimpan..disana pulalah kelembutan itu ada...dan disana jualah dimana Tuhanmu menghembuskan bisikan kebenaran.. kau semestinya tahu, bahwa dia adalah hatimu..."

Kamis, 22 Maret 2012

"Sayangnya, mereka adalah Anak Jalanan.."

Sengaja, aku tulis coretan ini hanya untuk menuangkan keganjalanku pada apa yang aku lihat.
Terlebih karna aku ingin kalian tahu apa yang ingin aku katakan, bukan untuk meminta persejuan kalian..tapi...sepertinya aku memang sangat ingin mengatakan ini pada kalian...
Hmm...sebuah postingan status yang berisi tentang kekecewaannya pada anak-anak jalanan, sebut saja pengemis dan pengamen (meskipun sebenarnya antara pengemis dan pengamen aku punya pendapat beda). Tapi okelah, toh mereka semua tetap sama penyebutannya, anak jalanan.
Aku paham dengan kekecewaan itu, dan mungkin itu cukup mewakili pandangan banyak orang tentang anak-anak jalanan: “kenapa sih mereka  cuma bisa minta?”, “kaya’ gak ada kerjaan aja..padahal banyak kerjaan kalo mereka mau” atau mungkin sebuah kekecewaan karena mereka hanya bergantung pada penghasilan yang didapat tanpa usaha dan tanpa mengucurkan keringat.
Hmm....okey, aku bisa memahami fikiran-fikiran itu, karena aku pun pernah berfikir seperti itu. Sangat menyayangkan kondisi mereka yang tampak “kacau”. Stigma negatif pun melekat pada mereka “nakal”, “brutal”, “tak tahu sopan santun”, “bodoh”, “pemabuk”, atau “pemakai obat-obatan terlarang”. It’s okey...(lagi-lagi) akupun memahami... tapi kawan, bukan semua ini yang ingin aku utarakan pada mereka. Bukan, tapi aku ingin kalian mulai melihat mereka dari sisi yang berbeda. Coba kita balik persepsi yang melekat di fikiran kita selama ini tentang mereka.
Mengapa mereka seperti itu? Mengapa mereka tidak bekerja saja? Mengapa mereka tetap seperti itu?
Yah, hidup memang penuh dengan pilihan, pilihan-pilihan yang ada dalam hidup itu sendiri ataupun pilihan untuk hidup seperti apa. Semua adalah pilihan. Setiap dari kita, sadar atau tidak, akan mengambil pilihan-pilihan itu yang sesuai dengan diri kita. Pun pilihan untuk hidup seperti apa. Tapi kawan, terkadang ada pilihan yang terpaksa kita ambil, ada pilihan yang terkadang tidak sesuai dengan hati nurani kita. Jadi, bukankah anak-anak itu pun hidup dengan pilihan? Tentu sama. Bedanya,  mereka memiliki pilihan hidup dengan keterpaksaan. Aku tak bermaksud menyalahkan takdir. Tapi ini memang kenyataan, bahwa pilihan mereka berawal dari sebuah ketidakberuntungan. Bukan mereka yang salah akan kenyataan yang menjadi penyebab pilihan tersebut.  Kita semua menyadari bahwa setiap pribadi terlahir dengan 2 sisi berlawanan, yaitu sisi baik dan sisi buruk. Aku sangat yakin kalian sering mengungkapkan hal ini “no body’s perfect”, is that so?
Jika kita semua meyakini bahwa tak ada manusia yang terlahir sempurna, maka sebuah keniscayaan bahwa akan selalu ada keburukan dalam kebaikan yang nampak. Begitu juga sebaliknya, pasti selalu ada kebaikan dalam keburukan yang tampak. Tanpa sadar, terkadang kita menyadari eksistensi diri kita secara berlebihan sehingga menganggap selain dari diri kita tampak berada pada tingkatan bawah kita. Dan pada saat yang berlainan, kita menganggap sosok di luar kita mendominasi pandangan kita yang selanjutnya menjadikan kita merasa rendah. Semua yang berlawanan itu selalu hidup dalam alam pikiran kita masing-masing. Tanpa sadar, pengaruh cara pandang itulah yang menjadikan diri kita selalu merasa berhak menilai. Kita merasa kaya melihat seorang ibu penjual jamu gendong. Dan kita merasa miskin melihat seorang pemuda dengan mobil sedannya. Tapi pernahkah kita membalikkan cara pandang kita dengan sebuah sudut pandang yang berlawanan?? Pernahkah kita berfikir seolah menjadi kaya ketika melihat pemuda dengan mobil sedan itu? Pernah pula kah kita merasa lebih miskin dari seorang ibu penjual jamu gendong?? Jika pernah, seberapa seringkah? Lalu buat apa membahas masalah temeh seperti ini???
Mungkin kalian sangat familiar melihat pemandangan seorang pejabat yang disambut meriah, semua berkerumun merebut jabatan tangannya. Semua membahasakan panggilannya dengan “yan terhormat” dan kata ganti “beliau”. Tapi di sisi lain, kita melihat tamu “biasa” yang bingung mencari kursi kosong  tanpa ada yang memperdulikannya. Ada yang berebut jabat tangan dengannya? Tidak.
Fenomena tersebut cukup mewakili bahwa ternyata kita selalu terjebak pada  segala hal yang nampak. Bukan saja berdampak pada cara berfikir kita yang terkonsep seperti itu, tapi lebih luas lagi pada dampak sikap yang ditimbulkan dari cara pandang tersebut. Seberapa sering kita menaruh hormat pada sosok loper koran? Kita tentu lebih sering berdecak kagum dan penuh hormat bercakap dengan sosok “yang terhormat” tadi. Kitapun terjebak pada pembiasan kata “biasa” dan “tak biasa” hanya dalam sebuah pemandangan sejenak.
Anak-anak jalanan. Sayangnya mereka hanya tampak “jeleknya” (meskipun semua dari mereka tidak bisa digeneralisasikan). Sayangnya mereka terlahir dari kalangan yang “biasa”. Sayangnya mereka berada pada situasi kondisi keluarga yang kurang harmonis. Sayangnya mereka tidak banyak merasakan keindahan kehidupan sebagaimana yang kita rasakan selama ini. Lalu apa mereka pantas kita justifikasi dengan kata “buruk” atas semua ketidak beruntungan dalam hidup mereka itu??
Jika kita bisa menghitung masalah kita berjumlah 10, maka mungkiin mereka memiliki angka 100. Jika kita bisa menghitung berapa liter airmata kita karena penderitaan, maka mungkin mereka tidak lagi punya air mata karena telah terkuras habis atau bahkan sampai kebal tak lagi bisa menangis. Kalau kita bisa mengadu atas segala hal pada orang tua kita, keluarga kita, maka mungkin mereka terlalu bingung  mengadu entah pada siapa karena betapapun keluarga mereka sendirilah yang justru menjadi bahan aduan. Lalu pada siapa, jika kebanyakan orang memandang mereka dengan pandangan sinis sebelah mata. Jika kita bisa dengan mudahnya meminta uang pada orang tua kita, menggesek mesin atm dan seketika uang keluar, maka mereka masih harus menunggu beberapa jam untuk mengumpulkan recehan uang koin. Jika kita mampu berusaha mencari pekerjaan dengan berbagai gelar sarjana, maka mereka? Jangankan sarjana, SD mungkin tidak tuntas.. lalu dengan cara apa mereka mendapatkan kesempatan pekerjaan yang layak, jika pandangan “buruk” itu selalu dilekatkan utuh pada mereka (semua dari mereka). Pertanyaannya kemudian, jika kalian adalah seorang bos dalam suatu bidang usaha, seberapa persen kepercayaan kalian menyerahkan salah satu jabatan pegawai pada mereka??? Aku yakin, kalian akan berpikir panjang (dan lagi-lagi) berpegang pada pandangan “buruk” tersebut. Lalu...pekerjaan yang seperti apa yang kalian paksa untuk mereka alihkan dari usaha mengamen??? Kawan...mereka terlalu tahu diri pada perbedaan posisi mereka dengan kalian...
Maka, aku hanya ingin berceloteh tentang semua ini, aku ingat dan merindukan adik-adik yang pernah Tuhan pertemukanku  dengan mereka, dan yang telah sempat menceritakan semua kegundahan itu. Semoga...Tuhan tak lepas memberikan rahmat pada kalian, dan kalian diberkahi dengan jalan hidup terbaik, meski penuh derita, tapi senyuman kalianlah cermin kesyukuran pada Sang Ilahi.

~catatan yg pernah tak sengaja bersambung ~

Wednesday, 21/03/2012, 23:54 WIB

5 komentar:

  1. Thanks for sharing superb informations. Your site is so cool. I’ll be looking forward to coming again.. and please check my site too about Home and Design. Thanks


    haha gak nyambung

    BalasHapus
  2. waw waw..thankyou mada...b'coz you're the first commentator, so that, I'll give a kind prize of my smile to you..^^...haha, (ngacau deh!)

    BalasHapus
  3. ^_^

    good writing's to attract the hearts of readers.
    I like this blog.

    TANTE very inspiring...

    Hihihi....

    :-p

    BalasHapus
    Balasan
    1. haha....thank you Xthoks, do you know what U did inspiring me too...so I can wrote all of these...hehe

      (btw, ngapaen pake diprint???hahaha)

      Hapus
  4. i will support u fully...

    lanjutkan ya..
    terus berkarya.

    why did I inspire you?

    (biar enak bacanya, jadi bisa lebih menghayati)
    :-p

    BalasHapus