Sengaja, aku tulis coretan ini hanya untuk menuangkan keganjalanku pada apa yang aku lihat.
Terlebih
karna aku ingin kalian tahu apa yang ingin aku katakan, bukan untuk
meminta persejuan kalian..tapi...sepertinya aku memang sangat ingin
mengatakan ini pada kalian...
Hmm...sebuah postingan status yang
berisi tentang kekecewaannya pada anak-anak jalanan, sebut saja pengemis
dan pengamen (meskipun sebenarnya antara pengemis dan pengamen aku
punya pendapat beda). Tapi okelah, toh mereka semua tetap sama
penyebutannya, anak jalanan.
Aku paham dengan kekecewaan itu, dan
mungkin itu cukup mewakili pandangan banyak orang tentang anak-anak
jalanan: “kenapa sih mereka cuma bisa minta?”, “kaya’ gak ada kerjaan
aja..padahal banyak kerjaan kalo mereka mau” atau mungkin sebuah
kekecewaan karena mereka hanya bergantung pada penghasilan yang didapat
tanpa usaha dan tanpa mengucurkan keringat.
Hmm....okey, aku bisa
memahami fikiran-fikiran itu, karena aku pun pernah berfikir seperti
itu. Sangat menyayangkan kondisi mereka yang tampak “kacau”. Stigma
negatif pun melekat pada mereka “nakal”, “brutal”, “tak tahu sopan
santun”, “bodoh”, “pemabuk”, atau “pemakai obat-obatan terlarang”. It’s
okey...(lagi-lagi) akupun memahami... tapi kawan, bukan semua ini yang
ingin aku utarakan pada mereka. Bukan, tapi aku ingin kalian mulai
melihat mereka dari sisi yang berbeda. Coba kita balik persepsi yang
melekat di fikiran kita selama ini tentang mereka.
Mengapa mereka seperti itu? Mengapa mereka tidak bekerja saja? Mengapa mereka tetap seperti itu?
Yah,
hidup memang penuh dengan pilihan, pilihan-pilihan yang ada dalam hidup
itu sendiri ataupun pilihan untuk hidup seperti apa. Semua adalah
pilihan. Setiap dari kita, sadar atau tidak, akan mengambil
pilihan-pilihan itu yang sesuai dengan diri kita. Pun pilihan untuk
hidup seperti apa. Tapi kawan, terkadang ada pilihan yang terpaksa kita
ambil, ada pilihan yang terkadang tidak sesuai dengan hati nurani kita.
Jadi, bukankah anak-anak itu pun hidup dengan pilihan? Tentu sama.
Bedanya, mereka memiliki pilihan hidup dengan keterpaksaan. Aku tak
bermaksud menyalahkan takdir. Tapi ini memang kenyataan, bahwa pilihan
mereka berawal dari sebuah ketidakberuntungan. Bukan mereka yang salah
akan kenyataan yang menjadi penyebab pilihan tersebut. Kita semua
menyadari bahwa setiap pribadi terlahir dengan 2 sisi berlawanan, yaitu
sisi baik dan sisi buruk. Aku sangat yakin kalian sering mengungkapkan
hal ini “no body’s perfect”, is that so?
Jika kita semua meyakini
bahwa tak ada manusia yang terlahir sempurna, maka sebuah keniscayaan
bahwa akan selalu ada keburukan dalam kebaikan yang nampak. Begitu juga
sebaliknya, pasti selalu ada kebaikan dalam keburukan yang tampak. Tanpa
sadar, terkadang kita menyadari eksistensi diri kita secara berlebihan
sehingga menganggap selain dari diri kita tampak berada pada tingkatan
bawah kita. Dan pada saat yang berlainan, kita menganggap sosok di luar
kita mendominasi pandangan kita yang selanjutnya menjadikan kita merasa
rendah. Semua yang berlawanan itu selalu hidup dalam alam pikiran kita
masing-masing. Tanpa sadar, pengaruh cara pandang itulah yang menjadikan
diri kita selalu merasa berhak menilai. Kita merasa kaya melihat
seorang ibu penjual jamu gendong. Dan kita merasa miskin melihat seorang
pemuda dengan mobil sedannya. Tapi pernahkah kita membalikkan cara
pandang kita dengan sebuah sudut pandang yang berlawanan?? Pernahkah
kita berfikir seolah menjadi kaya ketika melihat pemuda dengan mobil
sedan itu? Pernah pula kah kita merasa lebih miskin dari seorang ibu
penjual jamu gendong?? Jika pernah, seberapa seringkah? Lalu buat apa
membahas masalah temeh seperti ini???
Mungkin kalian sangat
familiar melihat pemandangan seorang pejabat yang disambut meriah, semua
berkerumun merebut jabatan tangannya. Semua membahasakan panggilannya
dengan “yan terhormat” dan kata ganti “beliau”. Tapi di sisi lain, kita
melihat tamu “biasa” yang bingung mencari kursi kosong tanpa ada yang
memperdulikannya. Ada yang berebut jabat tangan dengannya? Tidak.
Fenomena
tersebut cukup mewakili bahwa ternyata kita selalu terjebak pada
segala hal yang nampak. Bukan saja berdampak pada cara berfikir kita
yang terkonsep seperti itu, tapi lebih luas lagi pada dampak sikap yang
ditimbulkan dari cara pandang tersebut. Seberapa sering kita menaruh
hormat pada sosok loper koran? Kita tentu lebih sering berdecak kagum
dan penuh hormat bercakap dengan sosok “yang terhormat” tadi. Kitapun
terjebak pada pembiasan kata “biasa” dan “tak biasa” hanya dalam sebuah
pemandangan sejenak.
Anak-anak jalanan. Sayangnya mereka hanya
tampak “jeleknya” (meskipun semua dari mereka tidak bisa
digeneralisasikan). Sayangnya mereka terlahir dari kalangan yang
“biasa”. Sayangnya mereka berada pada situasi kondisi keluarga yang
kurang harmonis. Sayangnya mereka tidak banyak merasakan keindahan
kehidupan sebagaimana yang kita rasakan selama ini. Lalu apa mereka
pantas kita justifikasi dengan kata “buruk” atas semua ketidak
beruntungan dalam hidup mereka itu??
Jika kita bisa menghitung
masalah kita berjumlah 10, maka mungkiin mereka memiliki angka 100. Jika
kita bisa menghitung berapa liter airmata kita karena penderitaan, maka
mungkin mereka tidak lagi punya air mata karena telah terkuras habis
atau bahkan sampai kebal tak lagi bisa menangis. Kalau kita bisa mengadu
atas segala hal pada orang tua kita, keluarga kita, maka mungkin mereka
terlalu bingung mengadu entah pada siapa karena betapapun keluarga
mereka sendirilah yang justru menjadi bahan aduan. Lalu pada siapa, jika
kebanyakan orang memandang mereka dengan pandangan sinis sebelah mata.
Jika kita bisa dengan mudahnya meminta uang pada orang tua kita,
menggesek mesin atm dan seketika uang keluar, maka mereka masih harus
menunggu beberapa jam untuk mengumpulkan recehan uang koin. Jika kita
mampu berusaha mencari pekerjaan dengan berbagai gelar sarjana, maka
mereka? Jangankan sarjana, SD mungkin tidak tuntas.. lalu dengan cara
apa mereka mendapatkan kesempatan pekerjaan yang layak, jika pandangan
“buruk” itu selalu dilekatkan utuh pada mereka (semua dari mereka).
Pertanyaannya kemudian, jika kalian adalah seorang bos dalam suatu
bidang usaha, seberapa persen kepercayaan kalian menyerahkan salah satu
jabatan pegawai pada mereka??? Aku yakin, kalian akan berpikir panjang
(dan lagi-lagi) berpegang pada pandangan “buruk” tersebut.
Lalu...pekerjaan yang seperti apa yang kalian paksa untuk mereka alihkan
dari usaha mengamen??? Kawan...mereka terlalu tahu diri pada perbedaan
posisi mereka dengan kalian...
Maka, aku hanya ingin berceloteh
tentang semua ini, aku ingat dan merindukan adik-adik yang pernah Tuhan
pertemukanku dengan mereka, dan yang telah sempat menceritakan semua
kegundahan itu. Semoga...Tuhan tak lepas memberikan rahmat pada kalian,
dan kalian diberkahi dengan jalan hidup terbaik, meski penuh derita,
tapi senyuman kalianlah cermin kesyukuran pada Sang Ilahi.
~catatan yg pernah tak sengaja bersambung ~
Wednesday, 21/03/2012, 23:54 WIB
Thanks for sharing superb informations. Your site is so cool. I’ll be looking forward to coming again.. and please check my site too about Home and Design. Thanks
BalasHapushaha gak nyambung
waw waw..thankyou mada...b'coz you're the first commentator, so that, I'll give a kind prize of my smile to you..^^...haha, (ngacau deh!)
BalasHapus^_^
BalasHapusgood writing's to attract the hearts of readers.
I like this blog.
TANTE very inspiring...
Hihihi....
:-p
haha....thank you Xthoks, do you know what U did inspiring me too...so I can wrote all of these...hehe
Hapus(btw, ngapaen pake diprint???hahaha)
i will support u fully...
BalasHapuslanjutkan ya..
terus berkarya.
why did I inspire you?
(biar enak bacanya, jadi bisa lebih menghayati)
:-p