Welcome...

"..disanalah sebuah asa dan rasa tersimpan..disana pulalah kelembutan itu ada...dan disana jualah dimana Tuhanmu menghembuskan bisikan kebenaran.. kau semestinya tahu, bahwa dia adalah hatimu..."

Kamis, 22 Maret 2012

"Sayangnya, mereka adalah Anak Jalanan.."

Sengaja, aku tulis coretan ini hanya untuk menuangkan keganjalanku pada apa yang aku lihat.
Terlebih karna aku ingin kalian tahu apa yang ingin aku katakan, bukan untuk meminta persejuan kalian..tapi...sepertinya aku memang sangat ingin mengatakan ini pada kalian...
Hmm...sebuah postingan status yang berisi tentang kekecewaannya pada anak-anak jalanan, sebut saja pengemis dan pengamen (meskipun sebenarnya antara pengemis dan pengamen aku punya pendapat beda). Tapi okelah, toh mereka semua tetap sama penyebutannya, anak jalanan.
Aku paham dengan kekecewaan itu, dan mungkin itu cukup mewakili pandangan banyak orang tentang anak-anak jalanan: “kenapa sih mereka  cuma bisa minta?”, “kaya’ gak ada kerjaan aja..padahal banyak kerjaan kalo mereka mau” atau mungkin sebuah kekecewaan karena mereka hanya bergantung pada penghasilan yang didapat tanpa usaha dan tanpa mengucurkan keringat.
Hmm....okey, aku bisa memahami fikiran-fikiran itu, karena aku pun pernah berfikir seperti itu. Sangat menyayangkan kondisi mereka yang tampak “kacau”. Stigma negatif pun melekat pada mereka “nakal”, “brutal”, “tak tahu sopan santun”, “bodoh”, “pemabuk”, atau “pemakai obat-obatan terlarang”. It’s okey...(lagi-lagi) akupun memahami... tapi kawan, bukan semua ini yang ingin aku utarakan pada mereka. Bukan, tapi aku ingin kalian mulai melihat mereka dari sisi yang berbeda. Coba kita balik persepsi yang melekat di fikiran kita selama ini tentang mereka.
Mengapa mereka seperti itu? Mengapa mereka tidak bekerja saja? Mengapa mereka tetap seperti itu?
Yah, hidup memang penuh dengan pilihan, pilihan-pilihan yang ada dalam hidup itu sendiri ataupun pilihan untuk hidup seperti apa. Semua adalah pilihan. Setiap dari kita, sadar atau tidak, akan mengambil pilihan-pilihan itu yang sesuai dengan diri kita. Pun pilihan untuk hidup seperti apa. Tapi kawan, terkadang ada pilihan yang terpaksa kita ambil, ada pilihan yang terkadang tidak sesuai dengan hati nurani kita. Jadi, bukankah anak-anak itu pun hidup dengan pilihan? Tentu sama. Bedanya,  mereka memiliki pilihan hidup dengan keterpaksaan. Aku tak bermaksud menyalahkan takdir. Tapi ini memang kenyataan, bahwa pilihan mereka berawal dari sebuah ketidakberuntungan. Bukan mereka yang salah akan kenyataan yang menjadi penyebab pilihan tersebut.  Kita semua menyadari bahwa setiap pribadi terlahir dengan 2 sisi berlawanan, yaitu sisi baik dan sisi buruk. Aku sangat yakin kalian sering mengungkapkan hal ini “no body’s perfect”, is that so?
Jika kita semua meyakini bahwa tak ada manusia yang terlahir sempurna, maka sebuah keniscayaan bahwa akan selalu ada keburukan dalam kebaikan yang nampak. Begitu juga sebaliknya, pasti selalu ada kebaikan dalam keburukan yang tampak. Tanpa sadar, terkadang kita menyadari eksistensi diri kita secara berlebihan sehingga menganggap selain dari diri kita tampak berada pada tingkatan bawah kita. Dan pada saat yang berlainan, kita menganggap sosok di luar kita mendominasi pandangan kita yang selanjutnya menjadikan kita merasa rendah. Semua yang berlawanan itu selalu hidup dalam alam pikiran kita masing-masing. Tanpa sadar, pengaruh cara pandang itulah yang menjadikan diri kita selalu merasa berhak menilai. Kita merasa kaya melihat seorang ibu penjual jamu gendong. Dan kita merasa miskin melihat seorang pemuda dengan mobil sedannya. Tapi pernahkah kita membalikkan cara pandang kita dengan sebuah sudut pandang yang berlawanan?? Pernahkah kita berfikir seolah menjadi kaya ketika melihat pemuda dengan mobil sedan itu? Pernah pula kah kita merasa lebih miskin dari seorang ibu penjual jamu gendong?? Jika pernah, seberapa seringkah? Lalu buat apa membahas masalah temeh seperti ini???
Mungkin kalian sangat familiar melihat pemandangan seorang pejabat yang disambut meriah, semua berkerumun merebut jabatan tangannya. Semua membahasakan panggilannya dengan “yan terhormat” dan kata ganti “beliau”. Tapi di sisi lain, kita melihat tamu “biasa” yang bingung mencari kursi kosong  tanpa ada yang memperdulikannya. Ada yang berebut jabat tangan dengannya? Tidak.
Fenomena tersebut cukup mewakili bahwa ternyata kita selalu terjebak pada  segala hal yang nampak. Bukan saja berdampak pada cara berfikir kita yang terkonsep seperti itu, tapi lebih luas lagi pada dampak sikap yang ditimbulkan dari cara pandang tersebut. Seberapa sering kita menaruh hormat pada sosok loper koran? Kita tentu lebih sering berdecak kagum dan penuh hormat bercakap dengan sosok “yang terhormat” tadi. Kitapun terjebak pada pembiasan kata “biasa” dan “tak biasa” hanya dalam sebuah pemandangan sejenak.
Anak-anak jalanan. Sayangnya mereka hanya tampak “jeleknya” (meskipun semua dari mereka tidak bisa digeneralisasikan). Sayangnya mereka terlahir dari kalangan yang “biasa”. Sayangnya mereka berada pada situasi kondisi keluarga yang kurang harmonis. Sayangnya mereka tidak banyak merasakan keindahan kehidupan sebagaimana yang kita rasakan selama ini. Lalu apa mereka pantas kita justifikasi dengan kata “buruk” atas semua ketidak beruntungan dalam hidup mereka itu??
Jika kita bisa menghitung masalah kita berjumlah 10, maka mungkiin mereka memiliki angka 100. Jika kita bisa menghitung berapa liter airmata kita karena penderitaan, maka mungkin mereka tidak lagi punya air mata karena telah terkuras habis atau bahkan sampai kebal tak lagi bisa menangis. Kalau kita bisa mengadu atas segala hal pada orang tua kita, keluarga kita, maka mungkin mereka terlalu bingung  mengadu entah pada siapa karena betapapun keluarga mereka sendirilah yang justru menjadi bahan aduan. Lalu pada siapa, jika kebanyakan orang memandang mereka dengan pandangan sinis sebelah mata. Jika kita bisa dengan mudahnya meminta uang pada orang tua kita, menggesek mesin atm dan seketika uang keluar, maka mereka masih harus menunggu beberapa jam untuk mengumpulkan recehan uang koin. Jika kita mampu berusaha mencari pekerjaan dengan berbagai gelar sarjana, maka mereka? Jangankan sarjana, SD mungkin tidak tuntas.. lalu dengan cara apa mereka mendapatkan kesempatan pekerjaan yang layak, jika pandangan “buruk” itu selalu dilekatkan utuh pada mereka (semua dari mereka). Pertanyaannya kemudian, jika kalian adalah seorang bos dalam suatu bidang usaha, seberapa persen kepercayaan kalian menyerahkan salah satu jabatan pegawai pada mereka??? Aku yakin, kalian akan berpikir panjang (dan lagi-lagi) berpegang pada pandangan “buruk” tersebut. Lalu...pekerjaan yang seperti apa yang kalian paksa untuk mereka alihkan dari usaha mengamen??? Kawan...mereka terlalu tahu diri pada perbedaan posisi mereka dengan kalian...
Maka, aku hanya ingin berceloteh tentang semua ini, aku ingat dan merindukan adik-adik yang pernah Tuhan pertemukanku  dengan mereka, dan yang telah sempat menceritakan semua kegundahan itu. Semoga...Tuhan tak lepas memberikan rahmat pada kalian, dan kalian diberkahi dengan jalan hidup terbaik, meski penuh derita, tapi senyuman kalianlah cermin kesyukuran pada Sang Ilahi.

~catatan yg pernah tak sengaja bersambung ~

Wednesday, 21/03/2012, 23:54 WIB

Tuhan Memberikan Kita “Apa Adanya”

Tuhan Memberikan Kita “Apa Adanya”

Tuhan memberikan kita segala yg ‘apa adanya’,,apa saja??
Tuhan memberi kita mata ‘apa adanya’ yg dengannya kita bisa melihat apapun, alam semesta, dan segala yg tercipta, pun setiap keindahan, bahkan taburan halus debu-debu yang beterbangan dapat kita lihat dengan pemberian penglihatan yg ‘apa adanya’...
Tuhan memberi kita telinga ‘apa adanya’ yg dengannya setiap detak jarum jam pun dapat kita dengar dengan pemberian pendengaran yg ‘apa adanya’...
Tuhan memberi kita hidung ‘apa adanya’ yg dengannya kesegaran aroma lembut tanah basah yg terpercik oleh rintik hujan mampu kita hirup dengan pemberian penciuman yg ‘apa adanya’..
Tuhan memberi kita mulut ‘apa adanya’ yg dengannya kita menumpahkan setiap keluh tanpa pernah terbungkam oleh apapun, dengan pemberian pengucap yg ‘apa adanya’...

Tuhan memang memberikan segalanya pada kita dengan ‘apa adanya’....lalu apalagi???

Tuhan pun memberikan kita keluarga yang ‘apa adanya’,....
Seorang ayah yg dengan setiap tetesan peluh keringatnya tak pernah dirasakan, selain hanya tergambar senyum syukurnya atas sepeser nafkah untuk kita, penghabisan tenaga untuk seporsi hidangan makan kita, pengerasan otot untuk segelas minuman kita, dan pengurasan fikiran untuk baju baru kita. Itulah yang Tuhan telah berikan, sosok ayah yang ‘apa adanya’...

Tuhan tak lupa pula memberi kita seseorang yang kita sebut ibu, juga ‘apa adanya’..
Sesosok ibu dengan segala aktifitasnya..., memasak untuk setiap senyuman kita, mencuci untuk setiap kenyamanan kita, menguras bak mandi untuk  setiap kesehatan kita, merapikan tempat tidur untuk setiap kata lembut yang keluar dari mulut kita. Tangannya pun mulai kasar dan hitam, ototnya menonjol, kulitnya keriput,  dan mata yang sayu, apalagi, kalo bukan karena setiap aktifitasnya yang ‘apa adanya’ tapi sungguh melelahkan, dia hanya mampu memberi kasih sayang yang dititipkan Tuhan untuk diberikan pada kita, sederhana saja, dari seorang ibu yang ‘apa adanya’...

Tuhan juga memberikan kita kakak-adik ‘apa adanya’, bukan?

Kakak yang selalu cerewet untuk setiap sayangnya, dia yang selalu identik dengan bentuk larangan apapun untuk kebaikan kita. Adik? Ya...dia hanyalah seorang adik yang susah diatur tapi mengajari kita cara bersabar sekaligus cara menjadi teladan. Ah, mereka selalu berbeda dengan kita, dan selalu tak sependapat dengan jalan pikiran kita, mereka sangat ‘apa adanya’...tapi menjadikan kita tahu, bahwa tidak akan pernah ada yang benar-benar sama di dunia ini. Kadang mereka cukup keterlaluan dan menjengkelkan, tapi sikapnya membuat kita yakin bahwa kita harus hidup dengan jiwa pemaaf dan saling mengerti. Mereka juga terkadang terlihat polos, tapi itu membuat kita mengerti bahwa ada banyak hal baik di dunia ini yang bisa kita pilih dengan positive thinking.

Yaah...mereka ‘apa adanya’, kadang bersikap sangat tak peduli, tapi itu menyadarkan kita bahwa hidup tak pernah meminta kita untuk saling memusuhi, dan ketidakpedulian mereka membuat kitapun sadar bahwa ikatan kita dengan mereka tak pernah bisa terlepas kecuali kita sendiri yang memilih untuk melepaskan diri. Mereka ‘apa adanya’...yg dengannya kita bisa belajar menempatkan diri pada posisi yang sesuai dalam perbedaan lingkup keluarga dan di luar keluarga. Ya, lagi lagi...kakak-adik kita adalah orang-orang yang diberikan Tuhan dengan ‘apa adanya’...

Tentunya ingat bukan, bagaimana kita tumbuh dalam lingkungan yang ‘apa adanya’??

Betul, lingkungan kita hanyalah sebuah desa yang dikelilingi oleh pohon pisang, bambu, dan beberapa rumah yang sama-sama sederhana di sekeliling kita. Tuhan memberikan lingkungan yang ‘apa adanya’....tapi lingkungan itu membebaskan kita untuk memilih permainan apapun yang kita suka, petak umpet, kelereng, lompat tali, sangat sederhana bukan? Tapi permainan itu menjadikan kita belajar bersikap sportif, tanpa memberikan dampak apapun selain hanya peristiwa terjatuh karna berlari-larian, lalu kitapun belajar berperan menjadi seorang dokter-dokteran. Seperti itulah Tuhan menempatkan kita pada lingkungan yang ‘apa adanya’..
Uang? apakah kita termasuk anak konglomerat? Jelas, bukan. Kita hanya terlahir dalam keluarga dengan ekonomi kelas menengah, atau bahkan kelas ekonomi menengah ke bawah. Ayah kita terkadang harus meminjam uang pada rekan untuk dipakai membayar SPP kita. Bayar pinjaman. Pinjam lagi. Bayar lagi. Ya..ya..lagi lagi Tuhan memberikan kita kemampuan finansial yang ‘apa adanya’, tapi itu memaksa kita untuk belajar mengatur keuangan dan mengalokasikannya dengan tepat sasaran, mengajari kita untuk berhemat dan memanfaatkan segala hal yang masih berfungsi dengan baik. Dan itupun membuat mata kita terbuka bahwa masih banyak orang-orang di luar sana yang memiliki permasalahan ekonomi jauh lebih buruk dibanding kita, bahkan sangat buruk. Menjadikan kita menyadari suatu hal bahwa dalam hidup berdampingan, kita musti saling berbagi. Ya begitulah Tuhan memberikan kita materi yang ‘apa adanya’....
Lalu bagaimana dengan sahabat? teman-teman?
Haahh...mereka pun juga ‘apa adanya’, bukan orang kaya, tidak jenius,..hmm..tapi mereka bermacam-macam, terlalu kompleks kalau harus disebutkan karakter mereka satu per satu. Ya yang pasti merekapun ‘apa adanya’, mereka hanya bisa mendengarkan celoteh kita, menjadi tempat curahan hati kita, dan mereka hanya bisa membuat kita sesekali tertawa, bahkan terkadang menangis, tapi membuat kita paham apa itu kebersamaan dan saling menghargai perbedaan. Tuhan memang sengaja memberikan kita teman-teman yang sungguh ‘apa adanya’...

Tuhan memberikan kita segalanya yang ‘apa adanya’...namun membuat kita mengerti banyak hal bukan? –apa- dan –adanya-. Dua kata singkat yang sederhana lantas menjadi pedoman untuk memaknai segala hal secara sederhana dan biasa. Tapi pernahkan kita menganggap ‘apa adanya’ itu bersamaan arti dengan ‘segalanya ada’?? tidak. Tak pernah. Kalaupun iya, pasti kita hanya sedang melirik kata tersebut. Jelas, tak ada arti lain selain kata ‘biasa saja’. Tapi apakah cukup sampai disini?tidak.

Dalam sistem makro cosmos, dalam lingkup kesemestaan, kita sering tertipu dengan pandangan pada suatu objek yang besar, luas, tinggi, dan itu menutupi pandangan kita yang semestinya. Jika kita melihat seekor gajah, maka kita secara langsung hanya memandang gajah itu saja, tanpa kita peduli apa yang ada di sekitar gajah tersebut. Kita hanya melihat gajah tanpa mau tahu banyaknya semut yang ada di bawahnya. Besar dan kecil. “ah, semut kan sudah biasa kita lihat..”, tapi apa dengan begitu lantas kita menyimpulkan bahwa “gajah itu lebih istimewa dari semut”. Benarkah??tidak. bahkan hewan sekecil itu mampu mengajarkan kita tentang kebersamaan, kerukunan, dan saling menghormati. Dan justru dari hewan sekecil itu, semestinya kita sadar betapa Maha Agungnya Tuhan kita yang mampu menciptakan hewan sekecil semut dengan struktur organ (mini) yang sedemikian rupa sehingga tak kalah hebatnya dengan hewan-hewan besar lainnya.

Singkatnya, dari yang kecil, kita justru sering melupakan pelajaran berharga dari sana. Imbasnya, kitapun sering menyepelekan hal-hal kecil dalam hidup kita. Kita terlampau mengunggulkan yang ‘besar’ dari yang ‘kecil’, yang ‘tinggi’ dari yang ‘pendek’, yang ‘luas’ dari yang ‘sempit’, dan itulah yang seringkali menelikung arah kesadaran kita dalam memandang realita yang ada.

Seekor semut tidaklah berarti ‘apa adanya’ tapi memang benar-benar ‘ada’ dengan segala hal ’besar’ di dalamnya.

So....? kita tak perlu menyesali segala yang ‘apa adanya’ dalam diri kita, tapi bicaralah bahwa kita punya ‘segalanya yang memang benar-benar ada’. Kita tak perlu menyesali takdir yang telah terjadi pada diri kita. Kitapun tak perlu memikirkan apa  yang akan terjadi di hari esok, karna yang harus kita lakukan hanyalah bersyukur dan menikmati ‘segalanya yang ada’ saat ini, lakukan apa yang ingin dilakukan, katakan apa yang ingin dikatakan, dan tebarkanlah senyuman yang ‘apa adanya’ pada sekeliling kita. Detik ini juga! ..^^..



Catatan secangkir kopi sebelum tidur,
02.18, 01/03/12


"Untitled"

How odd! I'm not sleepy yet. Whereas, it's a quarter past eleven at night.
Huhf. . seems many thoughts spread around my mind but i couldn't mention what they are. .
I've ever fallen in desperation n' being exhausted. However, i believe you're watcing over me. .
God. .save me in your best destinies. .

-when i was confused what i am going to do..-

 (Written on Tuesday, March 15, 2011 at 11:29pm)

Mungkin “Aku Adalah Seorang Yang Pincang”

Maaf jika ucapku mungkin agak kasar. Kenapa tak kukatakan saja dengan istilah “cacat”?
Bisa saja, tapi aku lebih suka memakai kata “pincang”. Aku ingin kau mau merelakan istilah itu kupakai.

Sejak pagi, aku mulai sibuk mempersiapkan diri. Letih dan lelah, meskipun ragaku tak kurang apapun. Yah, aku bukan orang yang cacat apapun. -Segala syukurku pada-Mu Ya Rabb...- Dan pagi itu, aku sudah berada di suatu tempat yang tak asing bagiku. Bayanganku tertuju pada nuansa rumahku yang nyaman dan tak bising seperti saat ini. Ya, aku sedang di tengah-tengah keramaian yang membuatku jenuh. Akupun menyibukkan diri dengan membuka ponselku, iseng mengirim short message service ke beberapa temanku, tak puas tetap ku pegang ponselku dan aku mulai mengaktifkan sebuah situs jejaring sosial dan sedikit-sedikit bercengkrama dalam dunia maya. Aku mulai kembali merasa bosan, kuperdengarkan suara lembut lantunan ayat-ayat suci-Nya. Lirih akupun mengikuti kalimat-kalimat agung itu.

Sebentar saja aku tak berkutik, mengikuti pendengaranku dari sebuah sumber  yang tak jauh dari tempatku duduk. Tempat ini ramai dan bising sekali. Sehingga samar-samar aku berusaha menjaga pendengaranku agar tetap menangkap suara sopran itu,
“inggeh Bu, saestu...kulo men mesakke tenan kaleh bocahe niku. Ya Allah Buuu.... bapake niku gantung diri. Padahal, putrane tigo, ingkang paling alit mawon nembe umur 3th. Mulo niku, Pak Sulthon kalih Ibu niku  semedot...”

Deg! Situasi ini menjadi berubah. Seolah ada hawa dingin yang tiba-tiba menyerbak dan merasuk pelan menembus jantungku. Sedikit serpihan hatiku teriris, dengan lembut tanpa aku rasa sebuah sakit. Hanya sekedar rasa yang tak nyaman. Mungkin gelap. Tapi aku tak tahu pasti bagaimana menggambarkannya. Rasanya.....ah, bagaimana pula aku mengatakan sebuah rasa?

Berderet anak-anak satu persatu dipanggil untuk berdiri di atas panggung. Aku kembali merinding ketika bulikku mengiringi panggilan demi panggilan itu dengan sebuah lantunan sholawat yang tiba-tiba menyayat sembilu. Iringan suaranya tak terkendali oleh emosi yang labil karena tangisan. Suara itu bergetar. Aku tak berani menatap raut wajah beliau. Karna aku bisa membayangkan wajahnya yang memerah dengan mata yang sembab. Akupun mengikuti lantunan itu..pun dengan degup jantungku yang mulai tak teratur. Ya Allah....apakah memang anak-anak itu lebih kuat dariku??? Kubaca lagi dari kejauhan tulisan yang terpampang di belakang podium “Pengajian dan Santunan Anak-anak Yatim-Piatu”

Tuhanku....aku ingat firman-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau tak pernah membebani hamba-Mu melebihi batas kemampuannya. Aku yakin perkataan-Mu adalah Maha Benar. Aku mulai menebak titah-Mu atas nasib anak-anak itu. Kenapa Kau mengambil orang tua mereka selagi mereka masih kecil?? Kenapa tak Kau tunda saja kepergian ayah-ibu mereka menghadap-Mu sampai mereka benar-benar mandiri?? Kenapa Tuhan......??? ataukah itu berarti mereka telah kuat dan mampu ditinggal orang tuanya?? Apakah takdir-Mu itu berarti tidak melampaui batas mampu mereka?? Lalu jika aku adalah mereka, mengapa aku tak sanggup bila kehilangan salah satu dari orang tuaku, Ya Tuhan... Adakah benar bila anak-anak kecil itu lebih kuat dariku??

Pikiranku terus berputar mencari titik keabsahan dari kenyataan yang sedang aku lihat. Kuat dan lemah. Bukanlah aku yang kuat dan mereka adalah yang lemah. Tapi justru sebaliknya. Mereka yang kuat dan akulah yang lemah. Anak-anak yang masih kecil itu, mampu menopang mental mereka meski dengan sebuah kehilangan salah satu dari orang-orang yang mereka cintai. Mereka sama sekali tak terlihat sedih. Tapi aku, tak bisa membayangkan jika salah satu dari orang yang paling kucintai meninggalkanku. Ya, mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri. Dan aku berdiri dengan kepincanganku karena aku bergantung. Aku pincang karena aku masih membutuhkan tongkatku. Aku pincang karena aku masih butuh kursi roda. Aku pincang karena aku masih butuh kaki palsu. Aku pun pincang dan karenanya aku adalah lemah. Jika aku kehilangan semua itu, maka aku takkan bisa berjalan. Aku hanya bisa merangkak, dan itu artinya aku lemah. Sedangkan Tuhan menjadikan anak-anak itu sembuh dari pincang mereka. Aku mengira, Tuhan telah menganggap anak-anak itu telah kuat untuk berjalan tanpa tongkat. Tuhan pun telah lebih dulu menyembuhkan kepincangan anak-anak itu sejak dini, dan pelan-pelan mangambil tongkat mereka..

Dan aku.... maka mungkin, Tuhan belum mau menyembuhkan kepincanganku karena Dia Tahu aku masih belum mampu berjalan tanpa tongkat.
Mungkin memang benar, aku adalah seorang yang pincang...
Tapi ampunilah aku, Tuhan...aku masih ingin pincang, dan aku belum ingin Kau sembuhkan....
Sungguh Tuhanku....muliakanlah kedua orang tuaku. Amien

Kulantunkan ayat-ayatNya dengan khidmat. Aku goyah saat berada lebih dekat dengan anak-anak itu.
Ampuni aku Tuhan, karena aku hanya bisa mempersembahkan ini untuk mereka,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim
Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin
Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai terhadap shalatnya,
dan enggan memberi bantuan. {QS. Al-Ma’un: 1-7}

(Written on Monday, February 7, 2011 at 9:22am)

Nyanyian Jalanan

Jika ada yg berbaju kemelaratan, maka itulah mereka
Menjumput jaring-jaring nestapa
Dalam kesederhanaan yg akut
Mengimani musibah dan petaka yg beterbangan
Tidak ada yg bisa menjamin takdir bahagia mereka
Itulah mereka,
Menemukan kasih dalam titah Ilahi yg suci
Aku tidak menyalahkan
Tak jua membenarkan
Karna semua  abu-abu, yg kadang menjadi putih, tapi kadang hitam pekat..
Kesemestian yg kadang merambah keputus asaan
Jalanan takdir yg bagi mereka suram

Hidup di antara jejalanan,
Memaksa menjadi permadani,
Hanya tertutur senyum dan tangis
Tapi mereka lebih menyukai senyuman...
Itulah mereka...

Dalam bait-bait mereka
Ada senandung yg mengisahkan  kegetiran
Namun dalam senyuman
Entah untuk apa dan apa artinya
Mungkinkah bahagia yg merajut sedih,
atau sebaliknya?
Di matanya berkilau secercah harapan
Untuk bersaing dengan sayap-sayap burung
Mengepak tak memedulikan lidah yang mengoceh
Tak peduli angin ribut yg melanda
Tak peduli kemarau yg meranggas
Tak peduli kain kusam yg hanya terbalut
Namun mereka peduli akan harta mereka
Harta yg terlahir bertanda sebuah mimpi
Mimpi dan harapan yg membait,
sebuah nyanyian jalanan..


Aku pernah mendengar kisah mereka, keluh kesah mereka, melihat keluguan wajah mereka,mendengar celoteh tajam mereka, melihat tingkah mereka yang...
Apalah itu, aku tak dapat membahasakan
-hanya berbait nyanyian jalanan yg terirama indah.

 
dan itulah mereka...^^

(Written on Tuesday, October 5, 2010 at 1:17pm)

Berhubung lagi iseng, maka coretan ini aku kasih judul "Komunitas si-bungsu"

Cerita pertama,
Waktu itu umurku sekitar 9 tahun-an, kebiasaan malasku (:P) untuk bergegas mandi dan bersiap ke sekolah tidak bisa hilang. aku adalah anak bungsu dari 5 bersaudara. dan saat itu aku dan kakakku perempuan masih menginjak bangku sekolah dasar (SD). aku kelas 4 dan kakakku kelas 6 (selalu terpaut 2 tahun). setiap pagi kami memang ditugasi ibuku dengan pembagian pekerjaan rumah, misal: aku kebagian tugas menyapu lantai rumah dan teras. sedangkan kakakku menyapu halaman depan rumah yang lebih luas. setiap selesai ngerjain tugas itu biasanya kami sedikit bersantai dulu di ruang makan (capek juga sih...). tapi ibuku lama2 mulai memahami sifat kami yang agak malas untuk bergegas (tapi kaya' nya semua anak juga gitu deh...*pembelaan diri.hihihi*). dan di sela2 itu juga tak henti-hentinya beliau menyuruh kami cepat-cepat mandi. Singkat cerita, kami pun berebut kamar mandi (yang tanpa WC). baik aku maupun kakakku sama2 gak mau ngalah soal ini dan mulai berhimpit-himpit memaksakan diri (antara maksain masuk dan dorong2 lawan *kebayang gak??:P* pokoknya gitu lah, susah digambarin). saking lamanya kami rengek2 gak mau ngalah, Ibuku mulai marah dan segera menyuruh salah satu dari kami untuk ngalah. huks..akhir cerita aku juga yang ngalah....T_T...(sebagian alasan karna udah gak kuat nglawan badan yang lebih gede).


Cerita kedua,
saat aku kelas 4 SD juga (kalo gak salah inget), aku punya Al Qur'an yang bagus menurutku waktu itu. sebuah Al-Qur'an dengan ukuran sedang, berwarna hitam kecoklatan, dan resleting di putaran pembuka Al Qur'an. aku suka banget, karna modeli ini waktu itu belum banyak dimiliki orang, dan lagi tulisan di dalamnya jelas dan rapi (coz ada beberapa al qur'an yang tinta tulisannya tidak rapi). tapi aku harus merelakannya diberikan kepada kakakku sewaktu dia akan belajar di pondok..*mulai agak mellow..* aku maklum dengan penjelasan ibuku bahwa aku bisa membeli lagi dan karna kakakku akan mondok jauh di jawa timur sehingga gak mudah untuk membeli atau mendapatkan barang yang diinginkan. ini belum seberapa, tapi setelah kakakku gak  lagi di rumah, kerasa sepppiiiii banged! swear, gak enak ternyata sendirian. coz biasanya rame kalo ada kakakku (meski ramenya tengkar trus ^^) gak enak bangedd... *jadi pengen nyayi ala meggy Z, "makan2 sendiri..minum2 sendiri...syalalala"*


Cerita ketiga,
*haha....ngaakak dulu sebelum cerita*. kalo ini cerita konyolku dan kepolosanku murni karna aku adalah seorang anak kecil. saat aku kelas 5 SD, bapakku ngasih hadiah jam tangan merk A**A (jenis jam tangan yang lumayan awet dan bermerk). nah,tu pertama kali aku punya jam tangan. karna yang beliin bapak, mungkin selera orang tua juga seh...(tapi udah bagus kok..): tali lingkar ato "pelek" kulit warna hitam, dan lingkar jamnya bulat dengan sisi warna perak (warnanya aja yang perak bukan jenisnya lo..). yah seneng juga sih punya jam tangan baru. dan beberapa bulan kemudian, saat itu sedang trend2nya jam tangan anak yang warna warni truzyang paling menarik ada gambar hello kitty, mickey mouse, dan kawan-kawannya. temen2ku kebanyakan beli, karna harganya lumayan murah, ya sekitar 12rbatau 13rb-an (bahkan ada yang 8rb!! tapi dinaikin dikit biar agak pantes,hihi). hmm...ngiler deh liatnya (ya maklum sodara-sodara...namanya juga anak kecil....tertarik sama tampilan doank). akhirnya aku rengek ke ibuku minta dibeliin jam tangan lagi kaya' temen2ku. dan akhirnya jadi deh beli jam dengan bahan dasar karet, warna ungu dan bergambar kartun (senengnya minta ampun serasa hari2 jadi indah *lebay.com*). dan selidik punya selidik, saking pengennya minta dibeliin jam baru aku sampe bilang ke Ibuku kalo jam lamaku (yg sebenarnya sangat lebih bagus) dikasihin aja ke kakakku yg sedang di pondok. hahaha...dasar anak kecil gak tahu barang bagus. walhasil baru sebulan jam baruku yang kusayangi dan sungguh indah nian dipandang positif mati. hmmm...hmmm...


Cerita keempat, (contoh terakhir aja deh...^^)
karna aku tinggal sendirian di rumah (tanpa kakak2ku) tentu aku selalu meridukan masa-masa bisa kumpul semua (ex: pas liburan atao lebaran). seneng banget kalo dah mulai liat satu per satu kakakku pulang ke  rumah, yang dari Bandung, yang dari semarang, yang dari Jogja, dan yang dari ponorogo (dalam hati: hilang sudah penderitaanku ngrasa sepi..).seneng deh, sampe2 terkadang aku nunggu di depan pintu nunggu kakakku yang pertama nyampe rumah. padahal yang ditunggu gak tahu nyampe mana,hehe. Dan setelah ngumpul semua ada aja yang diomongin. dan aku, cukup jaddi pendengar setia yang cuma senyum2 sendiri (gak gila loh..tapi inilah kebahagiaan fren,,,meski dalam diam tapi hati yang berbicara,ceileh!). tapi yang paling nyebelin, mesti aku jadi yang disuruh-suruh, disuruh kakakku beli sampo lah, disuruh ibuku beli bumbu dapur lah, disuruh bapakku beli apa lah. must be me???? kadang aku sampe protes sambil manyun2 gak jelas ke ibuku, kenapa gak nyuruh kakakku??? kenapa selalu aku? kalo gak puas manyun2, ya ujung2nya pergi dengan menghentak-hentakkan kaki (kaya' prajurit lagi ngambek gak mau perang). waa....penderitaanku...


the last but not least, ini semua cuma pengen sharing aja kawan. kadang di sela2 pikiranku mengembara masa lalu, lucu juga seh jadi anak bungsu tu. ada gak enaknya, dan ada enaknya juga (termasuk dan terutama banyak dapat sumbangan dari kakak2,haha). aku yakin setiap posisi anak selalu ada kesamaan dengan yang lain, misalnya: sesama anak bungsu, sesama anak tengah, atau sesama anak tunggal. sekali lagi aku cuma pengen sharing, bukan untuk menyalahkan sikap keluargaku atau apalah. karna bagiku keluargaku lah yang paling hebat sedunia. dan kalian juga kan, pasti akan sangat bersyukur terlahir di keluarga kalian masing2. dan terpenting, aku juga cuma pengen denger cerita kalian menjadi "si bungsu dari goa hantu" eeh..salah ya?! upz, jaskid!^^v maksudku, cerita unik kalian selama menjadi anak terakhir. kata banyak orang anak bungsu itu terkenal manja, tapi menurutku gak tuh, buktinya ibuku selalu ngasih kesempatan buat siapapun yang mau ngalah, ga selalu mbela aku.hihiks..
Oke, sodara-sodara yang terhormat, silakan leave comment (terutama bagi para bungsu) tapi yang gak bungsu juga gak papa kalo mau cerita tentang kepedihan adiknya yang bungsu. semua cerita ini akan jadi episode sinetron "Prahara si Bungsu",hohoho...

Salam Damai...^^

 
I love them ever after..^^

Perempuan itu, adalah Seorang Kenek Angkot

Siang itu ketika aku pulang dari Jogja, udara masih menyengatkan hawa panas siang yg sungguh membuat kepala ini pusing.  Perjalanan Jogja-Klaten yg bagi kebanyakan orang menganggap dekat, namun bagiku cukup melelahkan. Apalagi hari itu aku “nglaju”. Berangkat dari rumah pukul 6 pagi dan pulang dari Jogja sekitar jam setengah 11. Tapi bukan tentang perjalanan yg agak melelahkan ini yg ingin aku ceritakan pada kalian, namun ttg seorang perempuan.

Ya, perempuan itulah yg mengajakku menggerakkan jari-jari ini pada baris-baris tombol keyboard netbook kakakku. Hmmm...mungkin akan sederhana bagi kalian. Tapi ajakan perempuan itu muncul dari dunia maya, ya kesadaranku sendiri. Sebenarnya sesampainya di rumah siang itu aku ingin sekali segera menulis ini, tapi terhambat kondisi yg tidak memungkinkan aku menyibukkan diri dengan kepentinganku sendiri. Akhirnya tertunda dan tertunda lagi, namun bayangan itu -ttg perempuan itu-  selalu muncul. Dan aku pastikan, untuk menuliskannya. Inilah yg akan kutulis tentangnya.

Perempuan itu...yg melambai-lambaikan tangannya dan mencondongkan  setengah badannya di pintu penumpang sebuah angkot. Badannya terlihat agak gembul dengan beberapa gumpal lemak yg tertimbun di balik bagian tubuhnya. Perempuan itu mengenakan celana jins yg terlihat kusam. Baju batik yg rapi membungkus tubuh gemuknya –namun aku pastikan hanya agak gemuk-, dan sebuah jam tangan yg mematut lingkar pergelangan tangannya yg berkulit gelap. Dari belakang angkot itu, aku bingung memastikan pemilik bentuk tubuh itu. Aku sangsi, apakah itu adalah bentuk tubuh seorang laki-laki ataukah peerempuan. Karna potongan rambutnya menyerupai potongan rambut seorang laki-laki, cepak. Tapi aku masih ragu-ragu memastikannya. Perlahan dengan hati-hati aku mempercepat laju motorku mendekati angkot itu. Tapi aku tak ingin mendahuluinya, hanya berusaha menyamping untuk tahu siapa sosok itu. Saat itu, dengan melihat bentuk keseluruhan badannyapun aku bisa saja memastikan bahwa dia adalah seorang laki-laki, tapi sekali lagi aku ragu melihat gerak tubuhnya yg canggung. Dengan tetap menjaga jarak dengan waspada,aku mencoba lagi merapat ke samping angkot itu. dan aku dapati selintas wajah sosok itu terlihat ketika jalan berbelok. Perlahan  aku tersenyum pasti menyakinkan diriku bahwa sosok itu adalah seorang perempuan paruh baya.

Ya.. perempuan itu adalah seorang kenek angkot.  Aku amati cara dia melambai-lambaikan tangannya ke arah luar angkot, sangat terlihat canggung. Entah niatnya untuk menepikan angkot dan membatasi pengguna jalan agar tidak menyelip ke kiri angkot atau hanya sekedar mematut diri sebagai seorang kenek –yg harus melambai-lambaikan tangannya ke luar-. Kuamati lagi, dia tetap melambai-lambaikan tangannya dengan canggung, meelambai-lambai lagi, tapi angkot tak juga menepi ke kiri. Angkot tak juga melambat, tapi dia tetap sesekali melambaikan tanggannya, dan tetap canggung. Sekali lagi melambai dan masih juga terlihat canggung. Aku berpikir kemudian, apakah perempuan itu adalah kenek  yg baru? Atau mungkin dia hanya sementara menggantikan suaminya yg kenek karena sebuah halangan? Atau memang gayanya sebagai seorang kenek memang seperti itu? Aku hanya bisa menerka dan mengira-ngira tidak jelas. Entah apapun itu, yang jelas aku heran dengan pemandanganku kali ini. Dia adalah seorang perempuan paruh baya. Seorang perempuan yang mungkin juga ibu dari anak-anaknya yang sedang menunggu di rumah. Apakah suaminya masih ada? Entahlah, tapi aku terus menerka-nerka.

Sungguh, ada rasa yang enggan, tapi tetap harus dilakukan. Dan ini bukan sebuah keterpaksaan, tapi justru terlihat sebuah ketulusan yang bermakna pengorbanan. Perempuan itu ingin mematut diri menjadi seorang kenek yang berintegritas tinggi. Dan itu adalah sebuah kesungguhan dari sebuah usaha.

Pikiranku berkeliaran lagi dalam perjalanan itu, aku ingat salah satu firman-Nya dalam QS. An-Nisa’ ayat 34 yg artinya, “Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yg lain....”. Aku kembali menerka-nerka sembari melihat lambaian-lambaian tangan perempuan itu. Ayat tersebut yg seringkali diperdebatkan oleh para kalangan feminis ttg inequalities dan ketidaksetaraan gender termasuk dalam hal kepemimpinan. Aku merenung sejenak, menyambungkan antara teks dan konteks ini. Aku menemukan titik singgung dari 2 hal ini.  Allah telah memberikan  kelebihan tiap laki-laki dan perempuan dengan kepantasan yang berbeda. Tapi sepertinya kata “kepantasan” itu kurang tepat, mungkin “keluwesan”, yaitu dalam  menggunakan kelebihan masing-masing. Bagiku keluwesan perempuan itu bukan pada pekerjaan menjadi seorang kenek, namun pada pekerjaan lain, semisal memasak, bekerja di salon, restoran, florist, dll.  Sedangkan keluwesan menjadi sopir, kenek, presiden, montir, bekerja di ladang adalah dimiliki oleh laki-laki. Tidak ada keluwesan yang diunggulkan dari keluwesan yang lain, tapi kedua kelebihan ini setara (equal) pada  bagian masing-masing yang berbeda. Namun kebanyakan orang salah jika menafsirkan ayat ini pada suatu asumsi bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan, karna “keluwesan” dia dalam memimpin. Bukan itu menurutku, tapi sekali lagi semua mempunyai bagiannya masing. Allah sungguh Maha Adil...subhanallah....
Sekali lagi, aku melihat lambaian-lambaian tangan yg canggung dari perempuan itu...

Aku pun menulis ini bukan untuk menganggap bahwa inilah penafsiranku, tapi aku hanya berusaha memahami realita. Realita yang tak mungkin lepas dari kaidah-Nya. Aku pun tidak menyalahkan "ketidakluwesan" perempuan itu menjadi seorang kenek. aku justru kagum melihat ketangguhan perempuan itu -melakukan hal yg semestinya menjadi bagian laki-laki-.  Sungguh, Tuhan telah menciptakan sebuah paradoks dari ada dan tiada. Keberadaan dari diri perempuan itu sekaligus menjadi ketiadaan diri kita. Itulah kenapa kita selalu terjebak pada jalan fikiran yang “benar menurut kita sendiri” ataupun “baik menurut kita sendiri”. Perempuan itu mungkin tidak kaya akan harta sebagaimana yang kita miliki, namun dia kaya hati, melapangkan kesempitan dalam hatinya yang lebar dalam menerima kenyataan hidup. Bagi kita obat itu pahit, tapi mungkin bagi perempuan itu obat itu selalu manis karena memberikan kesembuhan pada yg sakit.

Aku pastikan, bahwa perempuan paruh baya itu adalah perempuan yang hebat...proud of U...^^

(written on  on Thursday, September 30, 2010 at 9:21pm)


Seorang Ibu adalah yg paling banyak menangis..

Dear mom...

"Seorang ibu adalah orang yang paling banyak menangis dibandingkan semua orang di sekelilingnya. Jika seorang anaknya datang padanya menceritakan masalahnya, maka seketika masalah itu menjadi masalahnya. Jika anaknya yang lain kemudian datang dengan masalahnya pula, maka seketika masalah itu menjadi masalahnya. Dan jika suaminya menghadapi masalah, maka apalagi, kalau bukan dia pun ikut merasakan masalah itu menjadi masalahnya.
Seorang ibu yang paling banyak menangis dari pada yang lainnya. Ketahuilah dalam kesendiriannya, ia menangis memikirkan masalah-masalah yang datang pada keluarganya. Bukan masalahnya, melainkan masalah anak-anaknya yg tinggal jauh darinya, tapi kemudian menjadi masalahnya. Tak peduli seberapapun anak-anaknya telah menjadi dewasa dan seberapapun anak-anaknya telah menjadi mandiri dalam menghadapi setiap lika liku kehidupan mereka.,  ia tak peduli, karna yang ia yakini, mereka adalah anak-anaknya saat ini dan selamanya. Iapun tak perlu peduli, betapa masalah itu sampai padanya sekedar sebagai keluhan semata, tapi ia tetap menangis dalam kesendiriannya atas setiap nestapa yang menghampiri mereka. Ia menangis lebih dari anaknya.

Seorang ibu adalah yang paling banyak menangis dari yang lainnya. Ia menangis dalam setiap doanya, di sepertiga malam saat semua terlelap, maka saat itulah ia meruntuhkan kekuatan dirinya dalam ratapan doa pada Yang Maha Kuasa. Dalam lelap tidur anak-anaknya, ia menatap sendu pada bayangan wajah mereka penuh kasih seraya memohon agar setiap lengkungan senyum anaknya takkan pudar selamanya. Ia memohon dengan derai air matanya, “Sayangilah mereka, Tuhan...”. Ia menangis dalam tarikan nafasnya memohonkan ampun atas keluarganya. Ia menangis meminta agar semua penderitaan anak-anaknya dialihkan menjadi deritanya. Ia terlampau tak tega membayangkan betapa nestapanya keprihatianan itu harus ada  dalam kehidupan anak-anaknya.

Seorang Ibu adalah yang paling banyak menangis, bukan berarti ia lemah, bukan berarti ia tak berdaya, bukan berarti ia cengeng. Tapi ia menangis untuk mengumpulkan kekuatan jiwanya. Ia menangis untuk menahankan derita keluarganya. Ia menangis karna terlampau sayangnya pada keluarga. Ia menangis bukan karena ketidaksabarannya, tapi tangisan itulah simbol kesabaannya yang dalam. Jika kekuatan fisiknya semakin tergerus maka itu karena banyaknya pikiran yang menyita waktu istirahatnya. Sehingga tampak padanya sorot mata yang sayu, dan rona mukanya yang pucat, tapi ia tetap tersenyum riang mencandai anak dan cucu-cucunya, dan selalu mengatakan “tidak apa-apa” atas segala hal yang menimpa dirinya. Demi Tuhan, orang itu adalah ibu yang berdiri di atas kaki ketegaran dan kesabaran. Dialah ibu yang selalu lebih cemas dari apa yang dicemaskan anak-anaknya. Maka, diapun ibu yang selalu lebih banyak menangis dari tangisan mereka. Karena, dialah ibu yang mempunyai kecintaan dan kasih sayang pada keluarganya melebihi dari rasa sayang mereka terhadapnya.."

Thanks mom, you are my everything...

27/02/2012
(dedicated for all of mothers in d’world)

 
The best Mommy..