"..tiba-tiba
kenangan masa lalu berkelebat tak tentu arah, mengapa harus ada? jika sedih dan
bahagia yang terangkum membekas terlampau dalam hingga menjadikan masa ini
menjadi abu-abu, dan esok tiba-tiba berada dalam pelukan kabut. aku pun kembali
mengulum senyap ini sembari mendengarkan hingar bingar di kejauhan,,,ya dalam
sebuah masa dimana kenangan itu bertandang. mencampuradukkan rasa yg berirama
andai dan andai. Benarkah Tuhan sedemikian rumitnya memberikan pelajaran untuk
kita? akupun hanya diam dg tetap bersimbolkan 'koma'."
Serasa bertandang pada sebuah masa.
Masa dimana menjejakkan kaki adalah hal yang biasa. Namun di masa kemudian hari
jejak itu terlihat membelah jalanan berbatu, jejak-jejak yang sangat terlihat
ketika kita membalikkan pandangan kita untuk sesaat. Nyaris...membuat cekungan tapak
kaki yang mengering pada rekahan tanah merah. Betapapun hasrat ingin kembali meski
hanya untuk sekedar menyapa jejak itu, namun tetap tak bisa. Langkah ini telah
terlampau jauh dan tak urung bercengkrama kembali dengan serpihan kesedihan yang
pernah ada. Tapi percayakah kau, bahwa diantara tangis dan tawa kala itu adalah
kesatuan utuh dari kenangan yang tak terelakkan? Tangis itu telah menghantam
tawa yang pada saat itu seakan tak berbanding bahkan hampir tak berasa, maka
tangis itulah yg berjasa menjadikannya lengkung senyum yang indah.
Kau tahu kenapa masa lalu itu harus
benar-benar ada? Dan mengapa terkadang masa itu seolah menjadi peluru yg
sewaktu-waktu bisa melesat menembus segalanya ketika kita tarik pelatuknya? Begitu
sederhananya Tuhan membagi masa menjadi hal yang sulit kita kompromikan: lalu,
sekarang, dan nanti. Namun menjadi rumit ketika melihat apa yang sejatinya
Tuhan rangkai dalam tiap-tiap masa itu, menjadikan yang lalu sebagai pijakan, yang
sekarang sebagai kepastian, dan menjadikan yang nanti sebagai perencanaan. Begitu banyak penerimaan dan kerelaan yang musti kita taruhkan dalam
persenjataan kita melalui masa-masa itu. ya, kerelaan, bukan kepuasan atau
keputusasaan.
Oh Tuhan...bahkan barisan kesedihan
itu ikut mengalun seindah irama merdu kebahagiaan. Mereka benar-benar tak terpisahkan.
Ingin aku telisik kembali bagaimana
memainkan nada mayor yang berkumandang syahdu seperti kala itu, tapi nyatanya
tak bisa. Dan tetap aku dihadapkan pada nada minor yang mendayu-dayu lirih hingga
gaungnya menembus kolong jiwaku.
Bukan, ini bukan sebuah puisi. Aku hanya
sedang memeluk rinduku yang tak terperi untuk sebuah alasan mengenang sebuah
kenangan. Dia datang begitu saja. Mencambukku dengan timbangan masa lalu. Dan seketika
itu juga, aku seperti ingin membenahi segala yang membuat bekas lara ini dan
melengkungkan senyum yang lebih lebar dari apa yang aku ingat pada hari ini. Tapi
jika Tuhan kabulkan, maka segalanya hanya akan menjadi usang tak bermakna, lalu
tidak akan ada lagi hikmah, dan yang akan ada hanyalah keegoisan manusia.
Benarkan dengan alur yang seperti
ini kiranya Tuhan mengajarkan kita keikhlasan? Kurasa memang iya. Maka, pastikan
selalu bahwa kita tidak sedang ‘mengeja’ Tuhan.
Sekali lagi, ini bukan puisi kawan.
Aku hanya memainkan sebaris nada kehidupan ini. Dia mengalun dan tak pernah
berhenti memainkan rasa, memunculkan tanda koma [,], kemudian tanda seru [!],
dan berlanjut pada tanda tanya [?].
Pada sebuah sudut ruang dan waktu,
(08/09/12)