Welcome...

"..disanalah sebuah asa dan rasa tersimpan..disana pulalah kelembutan itu ada...dan disana jualah dimana Tuhanmu menghembuskan bisikan kebenaran.. kau semestinya tahu, bahwa dia adalah hatimu..."

Kamis, 22 Maret 2012

Mungkin “Aku Adalah Seorang Yang Pincang”

Maaf jika ucapku mungkin agak kasar. Kenapa tak kukatakan saja dengan istilah “cacat”?
Bisa saja, tapi aku lebih suka memakai kata “pincang”. Aku ingin kau mau merelakan istilah itu kupakai.

Sejak pagi, aku mulai sibuk mempersiapkan diri. Letih dan lelah, meskipun ragaku tak kurang apapun. Yah, aku bukan orang yang cacat apapun. -Segala syukurku pada-Mu Ya Rabb...- Dan pagi itu, aku sudah berada di suatu tempat yang tak asing bagiku. Bayanganku tertuju pada nuansa rumahku yang nyaman dan tak bising seperti saat ini. Ya, aku sedang di tengah-tengah keramaian yang membuatku jenuh. Akupun menyibukkan diri dengan membuka ponselku, iseng mengirim short message service ke beberapa temanku, tak puas tetap ku pegang ponselku dan aku mulai mengaktifkan sebuah situs jejaring sosial dan sedikit-sedikit bercengkrama dalam dunia maya. Aku mulai kembali merasa bosan, kuperdengarkan suara lembut lantunan ayat-ayat suci-Nya. Lirih akupun mengikuti kalimat-kalimat agung itu.

Sebentar saja aku tak berkutik, mengikuti pendengaranku dari sebuah sumber  yang tak jauh dari tempatku duduk. Tempat ini ramai dan bising sekali. Sehingga samar-samar aku berusaha menjaga pendengaranku agar tetap menangkap suara sopran itu,
“inggeh Bu, saestu...kulo men mesakke tenan kaleh bocahe niku. Ya Allah Buuu.... bapake niku gantung diri. Padahal, putrane tigo, ingkang paling alit mawon nembe umur 3th. Mulo niku, Pak Sulthon kalih Ibu niku  semedot...”

Deg! Situasi ini menjadi berubah. Seolah ada hawa dingin yang tiba-tiba menyerbak dan merasuk pelan menembus jantungku. Sedikit serpihan hatiku teriris, dengan lembut tanpa aku rasa sebuah sakit. Hanya sekedar rasa yang tak nyaman. Mungkin gelap. Tapi aku tak tahu pasti bagaimana menggambarkannya. Rasanya.....ah, bagaimana pula aku mengatakan sebuah rasa?

Berderet anak-anak satu persatu dipanggil untuk berdiri di atas panggung. Aku kembali merinding ketika bulikku mengiringi panggilan demi panggilan itu dengan sebuah lantunan sholawat yang tiba-tiba menyayat sembilu. Iringan suaranya tak terkendali oleh emosi yang labil karena tangisan. Suara itu bergetar. Aku tak berani menatap raut wajah beliau. Karna aku bisa membayangkan wajahnya yang memerah dengan mata yang sembab. Akupun mengikuti lantunan itu..pun dengan degup jantungku yang mulai tak teratur. Ya Allah....apakah memang anak-anak itu lebih kuat dariku??? Kubaca lagi dari kejauhan tulisan yang terpampang di belakang podium “Pengajian dan Santunan Anak-anak Yatim-Piatu”

Tuhanku....aku ingat firman-Mu, bahwa sesungguhnya Engkau tak pernah membebani hamba-Mu melebihi batas kemampuannya. Aku yakin perkataan-Mu adalah Maha Benar. Aku mulai menebak titah-Mu atas nasib anak-anak itu. Kenapa Kau mengambil orang tua mereka selagi mereka masih kecil?? Kenapa tak Kau tunda saja kepergian ayah-ibu mereka menghadap-Mu sampai mereka benar-benar mandiri?? Kenapa Tuhan......??? ataukah itu berarti mereka telah kuat dan mampu ditinggal orang tuanya?? Apakah takdir-Mu itu berarti tidak melampaui batas mampu mereka?? Lalu jika aku adalah mereka, mengapa aku tak sanggup bila kehilangan salah satu dari orang tuaku, Ya Tuhan... Adakah benar bila anak-anak kecil itu lebih kuat dariku??

Pikiranku terus berputar mencari titik keabsahan dari kenyataan yang sedang aku lihat. Kuat dan lemah. Bukanlah aku yang kuat dan mereka adalah yang lemah. Tapi justru sebaliknya. Mereka yang kuat dan akulah yang lemah. Anak-anak yang masih kecil itu, mampu menopang mental mereka meski dengan sebuah kehilangan salah satu dari orang-orang yang mereka cintai. Mereka sama sekali tak terlihat sedih. Tapi aku, tak bisa membayangkan jika salah satu dari orang yang paling kucintai meninggalkanku. Ya, mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri. Dan aku berdiri dengan kepincanganku karena aku bergantung. Aku pincang karena aku masih membutuhkan tongkatku. Aku pincang karena aku masih butuh kursi roda. Aku pincang karena aku masih butuh kaki palsu. Aku pun pincang dan karenanya aku adalah lemah. Jika aku kehilangan semua itu, maka aku takkan bisa berjalan. Aku hanya bisa merangkak, dan itu artinya aku lemah. Sedangkan Tuhan menjadikan anak-anak itu sembuh dari pincang mereka. Aku mengira, Tuhan telah menganggap anak-anak itu telah kuat untuk berjalan tanpa tongkat. Tuhan pun telah lebih dulu menyembuhkan kepincangan anak-anak itu sejak dini, dan pelan-pelan mangambil tongkat mereka..

Dan aku.... maka mungkin, Tuhan belum mau menyembuhkan kepincanganku karena Dia Tahu aku masih belum mampu berjalan tanpa tongkat.
Mungkin memang benar, aku adalah seorang yang pincang...
Tapi ampunilah aku, Tuhan...aku masih ingin pincang, dan aku belum ingin Kau sembuhkan....
Sungguh Tuhanku....muliakanlah kedua orang tuaku. Amien

Kulantunkan ayat-ayatNya dengan khidmat. Aku goyah saat berada lebih dekat dengan anak-anak itu.
Ampuni aku Tuhan, karena aku hanya bisa mempersembahkan ini untuk mereka,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim
Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin
Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai terhadap shalatnya,
dan enggan memberi bantuan. {QS. Al-Ma’un: 1-7}

(Written on Monday, February 7, 2011 at 9:22am)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar