Maaf jika ucapku mungkin agak kasar. Kenapa tak kukatakan saja dengan istilah “cacat”?
Bisa saja, tapi aku lebih suka memakai kata “pincang”. Aku ingin kau mau merelakan istilah itu kupakai.
Sejak
pagi, aku mulai sibuk mempersiapkan diri. Letih dan lelah, meskipun
ragaku tak kurang apapun. Yah, aku bukan orang yang cacat apapun.
-Segala syukurku pada-Mu Ya Rabb...- Dan pagi itu, aku sudah berada di
suatu tempat yang tak asing bagiku. Bayanganku tertuju pada nuansa
rumahku yang nyaman dan tak bising seperti saat ini. Ya, aku sedang di
tengah-tengah keramaian yang membuatku jenuh. Akupun menyibukkan diri
dengan membuka ponselku, iseng mengirim short message service
ke beberapa temanku, tak puas tetap ku pegang ponselku dan aku mulai
mengaktifkan sebuah situs jejaring sosial dan sedikit-sedikit
bercengkrama dalam dunia maya. Aku mulai kembali merasa bosan,
kuperdengarkan suara lembut lantunan ayat-ayat suci-Nya. Lirih akupun
mengikuti kalimat-kalimat agung itu.
Sebentar saja aku tak
berkutik, mengikuti pendengaranku dari sebuah sumber yang tak jauh
dari tempatku duduk. Tempat ini ramai dan bising sekali. Sehingga
samar-samar aku berusaha menjaga pendengaranku agar tetap menangkap
suara sopran itu,
“inggeh Bu, saestu...kulo men mesakke tenan
kaleh bocahe niku. Ya Allah Buuu.... bapake niku gantung diri. Padahal,
putrane tigo, ingkang paling alit mawon nembe umur 3th. Mulo niku, Pak
Sulthon kalih Ibu niku semedot...”
Deg! Situasi ini
menjadi berubah. Seolah ada hawa dingin yang tiba-tiba menyerbak dan
merasuk pelan menembus jantungku. Sedikit serpihan hatiku teriris,
dengan lembut tanpa aku rasa sebuah sakit. Hanya sekedar rasa yang tak
nyaman. Mungkin gelap. Tapi aku tak tahu pasti bagaimana
menggambarkannya. Rasanya.....ah, bagaimana pula aku mengatakan sebuah
rasa?
Berderet anak-anak satu persatu dipanggil untuk berdiri di atas panggung. Aku kembali merinding ketika bulikku
mengiringi panggilan demi panggilan itu dengan sebuah lantunan sholawat
yang tiba-tiba menyayat sembilu. Iringan suaranya tak terkendali oleh
emosi yang labil karena tangisan. Suara itu bergetar. Aku tak berani
menatap raut wajah beliau. Karna aku bisa membayangkan wajahnya yang
memerah dengan mata yang sembab. Akupun mengikuti lantunan itu..pun
dengan degup jantungku yang mulai tak teratur. Ya Allah....apakah memang
anak-anak itu lebih kuat dariku??? Kubaca lagi dari kejauhan tulisan
yang terpampang di belakang podium “Pengajian dan Santunan Anak-anak
Yatim-Piatu”
Tuhanku....aku ingat firman-Mu, bahwa
sesungguhnya Engkau tak pernah membebani hamba-Mu melebihi batas
kemampuannya. Aku yakin perkataan-Mu adalah Maha Benar. Aku mulai
menebak titah-Mu atas nasib anak-anak itu. Kenapa Kau mengambil orang
tua mereka selagi mereka masih kecil?? Kenapa tak Kau tunda saja
kepergian ayah-ibu mereka menghadap-Mu sampai mereka benar-benar
mandiri?? Kenapa Tuhan......??? ataukah itu berarti mereka telah kuat
dan mampu ditinggal orang tuanya?? Apakah takdir-Mu itu berarti tidak
melampaui batas mampu mereka?? Lalu jika aku adalah mereka, mengapa aku
tak sanggup bila kehilangan salah satu dari orang tuaku, Ya Tuhan...
Adakah benar bila anak-anak kecil itu lebih kuat dariku??
Pikiranku
terus berputar mencari titik keabsahan dari kenyataan yang sedang aku
lihat. Kuat dan lemah. Bukanlah aku yang kuat dan mereka adalah yang
lemah. Tapi justru sebaliknya. Mereka yang kuat dan akulah yang lemah.
Anak-anak yang masih kecil itu, mampu menopang mental mereka meski
dengan sebuah kehilangan salah satu dari orang-orang yang mereka cintai.
Mereka sama sekali tak terlihat sedih. Tapi aku, tak bisa membayangkan
jika salah satu dari orang yang paling kucintai meninggalkanku. Ya,
mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri. Dan aku berdiri dengan
kepincanganku karena aku bergantung. Aku pincang karena aku masih
membutuhkan tongkatku. Aku pincang karena aku masih butuh kursi roda.
Aku pincang karena aku masih butuh kaki palsu. Aku pun pincang dan
karenanya aku adalah lemah. Jika aku kehilangan semua itu, maka aku
takkan bisa berjalan. Aku hanya bisa merangkak, dan itu artinya aku
lemah. Sedangkan Tuhan menjadikan anak-anak itu sembuh dari pincang
mereka. Aku mengira, Tuhan telah menganggap anak-anak itu telah kuat
untuk berjalan tanpa tongkat. Tuhan pun telah lebih dulu menyembuhkan
kepincangan anak-anak itu sejak dini, dan pelan-pelan mangambil tongkat
mereka..
Dan aku.... maka mungkin, Tuhan belum mau
menyembuhkan kepincanganku karena Dia Tahu aku masih belum mampu
berjalan tanpa tongkat.
Mungkin memang benar, aku adalah seorang yang pincang...
Tapi ampunilah aku, Tuhan...aku masih ingin pincang, dan aku belum ingin Kau sembuhkan....
Sungguh Tuhanku....muliakanlah kedua orang tuaku. Amien
Kulantunkan ayat-ayatNya dengan khidmat. Aku goyah saat berada lebih dekat dengan anak-anak itu.
Ampuni aku Tuhan, karena aku hanya bisa mempersembahkan ini untuk mereka,
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?”
Maka itulah orang yang menghardik anak yatim
Dan tidak mendorong memberi makan orang miskin
Maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang yang lalai terhadap shalatnya,
dan enggan memberi bantuan. {QS. Al-Ma’un: 1-7}
(Written on Monday, February 7, 2011 at 9:22am)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar