Siang itu ketika aku pulang dari Jogja, udara masih menyengatkan hawa
panas siang yg sungguh membuat kepala ini pusing. Perjalanan
Jogja-Klaten yg bagi kebanyakan orang menganggap dekat, namun bagiku
cukup melelahkan. Apalagi hari itu aku “nglaju”. Berangkat dari rumah
pukul 6 pagi dan pulang dari Jogja sekitar jam setengah 11. Tapi bukan
tentang perjalanan yg agak melelahkan ini yg ingin aku ceritakan pada
kalian, namun ttg seorang perempuan.
Ya, perempuan itulah
yg mengajakku menggerakkan jari-jari ini pada baris-baris tombol
keyboard netbook kakakku. Hmmm...mungkin akan sederhana bagi kalian.
Tapi ajakan perempuan itu muncul dari dunia maya, ya kesadaranku
sendiri. Sebenarnya sesampainya di rumah siang itu aku ingin sekali
segera menulis ini, tapi terhambat kondisi yg tidak memungkinkan aku
menyibukkan diri dengan kepentinganku sendiri. Akhirnya tertunda dan
tertunda lagi, namun bayangan itu -ttg perempuan itu- selalu muncul.
Dan aku pastikan, untuk menuliskannya. Inilah yg akan kutulis
tentangnya.
Perempuan itu...yg melambai-lambaikan
tangannya dan mencondongkan setengah badannya di pintu penumpang sebuah
angkot. Badannya terlihat agak gembul dengan beberapa gumpal lemak yg
tertimbun di balik bagian tubuhnya. Perempuan itu mengenakan celana jins
yg terlihat kusam. Baju batik yg rapi membungkus tubuh gemuknya –namun
aku pastikan hanya agak gemuk-, dan sebuah jam tangan yg mematut lingkar
pergelangan tangannya yg berkulit gelap. Dari belakang angkot itu, aku
bingung memastikan pemilik bentuk tubuh itu. Aku sangsi, apakah itu
adalah bentuk tubuh seorang laki-laki ataukah peerempuan. Karna potongan
rambutnya menyerupai potongan rambut seorang laki-laki, cepak. Tapi aku
masih ragu-ragu memastikannya. Perlahan dengan hati-hati aku
mempercepat laju motorku mendekati angkot itu. Tapi aku tak ingin
mendahuluinya, hanya berusaha menyamping untuk tahu siapa sosok itu.
Saat itu, dengan melihat bentuk keseluruhan badannyapun aku bisa saja
memastikan bahwa dia adalah seorang laki-laki, tapi sekali lagi aku ragu
melihat gerak tubuhnya yg canggung. Dengan tetap menjaga jarak dengan
waspada,aku mencoba lagi merapat ke samping angkot itu. dan aku dapati
selintas wajah sosok itu terlihat ketika jalan berbelok. Perlahan aku
tersenyum pasti menyakinkan diriku bahwa sosok itu adalah seorang
perempuan paruh baya.
Ya.. perempuan itu adalah seorang
kenek angkot. Aku amati cara dia melambai-lambaikan tangannya ke arah
luar angkot, sangat terlihat canggung. Entah niatnya untuk menepikan
angkot dan membatasi pengguna jalan agar tidak menyelip ke kiri angkot
atau hanya sekedar mematut diri sebagai seorang kenek –yg harus
melambai-lambaikan tangannya ke luar-. Kuamati lagi, dia tetap
melambai-lambaikan tangannya dengan canggung, meelambai-lambai lagi,
tapi angkot tak juga menepi ke kiri. Angkot tak juga melambat, tapi dia
tetap sesekali melambaikan tanggannya, dan tetap canggung. Sekali lagi
melambai dan masih juga terlihat canggung. Aku berpikir kemudian, apakah
perempuan itu adalah kenek yg baru? Atau mungkin dia hanya sementara
menggantikan suaminya yg kenek karena sebuah halangan? Atau memang
gayanya sebagai seorang kenek memang seperti itu? Aku hanya bisa menerka
dan mengira-ngira tidak jelas. Entah apapun itu, yang jelas aku heran
dengan pemandanganku kali ini. Dia adalah seorang perempuan paruh baya.
Seorang perempuan yang mungkin juga ibu dari anak-anaknya yang sedang
menunggu di rumah. Apakah suaminya masih ada? Entahlah, tapi aku terus
menerka-nerka.
Sungguh, ada rasa yang enggan, tapi tetap
harus dilakukan. Dan ini bukan sebuah keterpaksaan, tapi justru terlihat
sebuah ketulusan yang bermakna pengorbanan. Perempuan itu ingin mematut
diri menjadi seorang kenek yang berintegritas tinggi. Dan itu adalah
sebuah kesungguhan dari sebuah usaha.
Pikiranku berkeliaran lagi dalam perjalanan itu, aku ingat salah satu firman-Nya dalam QS. An-Nisa’ ayat 34 yg artinya, “Laki-laki
(suami) itu adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan (istri), karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yg lain....”. Aku
kembali menerka-nerka sembari melihat lambaian-lambaian tangan
perempuan itu. Ayat tersebut yg seringkali diperdebatkan oleh para
kalangan feminis ttg inequalities dan ketidaksetaraan gender
termasuk dalam hal kepemimpinan. Aku merenung sejenak, menyambungkan
antara teks dan konteks ini. Aku menemukan titik singgung dari 2 hal
ini. Allah telah memberikan kelebihan tiap laki-laki dan perempuan
dengan kepantasan yang berbeda. Tapi sepertinya kata “kepantasan” itu
kurang tepat, mungkin “keluwesan”, yaitu dalam menggunakan kelebihan
masing-masing. Bagiku keluwesan perempuan itu bukan pada pekerjaan
menjadi seorang kenek, namun pada pekerjaan lain, semisal memasak,
bekerja di salon, restoran, florist, dll. Sedangkan keluwesan menjadi
sopir, kenek, presiden, montir, bekerja di ladang adalah dimiliki oleh
laki-laki. Tidak ada keluwesan yang diunggulkan dari keluwesan yang
lain, tapi kedua kelebihan ini setara (equal) pada bagian masing-masing
yang berbeda. Namun kebanyakan orang salah jika menafsirkan ayat ini
pada suatu asumsi bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada
perempuan, karna “keluwesan” dia dalam memimpin. Bukan itu menurutku,
tapi sekali lagi semua mempunyai bagiannya masing. Allah sungguh Maha
Adil...subhanallah....
Sekali lagi, aku melihat lambaian-lambaian tangan yg canggung dari perempuan itu...
Aku
pun menulis ini bukan untuk menganggap bahwa inilah penafsiranku, tapi
aku hanya berusaha memahami realita. Realita yang tak mungkin lepas dari
kaidah-Nya. Aku pun tidak menyalahkan "ketidakluwesan" perempuan itu
menjadi seorang kenek. aku justru kagum melihat ketangguhan perempuan
itu -melakukan hal yg semestinya menjadi bagian laki-laki-. Sungguh,
Tuhan telah menciptakan sebuah paradoks dari ada dan tiada. Keberadaan
dari diri perempuan itu sekaligus menjadi ketiadaan diri kita. Itulah
kenapa kita selalu terjebak pada jalan fikiran yang “benar menurut kita
sendiri” ataupun “baik menurut kita sendiri”. Perempuan itu mungkin
tidak kaya akan harta sebagaimana yang kita miliki, namun dia kaya hati,
melapangkan kesempitan dalam hatinya yang lebar dalam menerima
kenyataan hidup. Bagi kita obat itu pahit, tapi mungkin bagi perempuan
itu obat itu selalu manis karena memberikan kesembuhan pada yg sakit.
Aku pastikan, bahwa perempuan paruh baya itu adalah perempuan yang hebat...proud of U...^^
(written on on Thursday, September 30, 2010 at 9:21pm)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar