Welcome...

"..disanalah sebuah asa dan rasa tersimpan..disana pulalah kelembutan itu ada...dan disana jualah dimana Tuhanmu menghembuskan bisikan kebenaran.. kau semestinya tahu, bahwa dia adalah hatimu..."

Kamis, 22 Maret 2012

Perempuan itu, adalah Seorang Kenek Angkot

Siang itu ketika aku pulang dari Jogja, udara masih menyengatkan hawa panas siang yg sungguh membuat kepala ini pusing.  Perjalanan Jogja-Klaten yg bagi kebanyakan orang menganggap dekat, namun bagiku cukup melelahkan. Apalagi hari itu aku “nglaju”. Berangkat dari rumah pukul 6 pagi dan pulang dari Jogja sekitar jam setengah 11. Tapi bukan tentang perjalanan yg agak melelahkan ini yg ingin aku ceritakan pada kalian, namun ttg seorang perempuan.

Ya, perempuan itulah yg mengajakku menggerakkan jari-jari ini pada baris-baris tombol keyboard netbook kakakku. Hmmm...mungkin akan sederhana bagi kalian. Tapi ajakan perempuan itu muncul dari dunia maya, ya kesadaranku sendiri. Sebenarnya sesampainya di rumah siang itu aku ingin sekali segera menulis ini, tapi terhambat kondisi yg tidak memungkinkan aku menyibukkan diri dengan kepentinganku sendiri. Akhirnya tertunda dan tertunda lagi, namun bayangan itu -ttg perempuan itu-  selalu muncul. Dan aku pastikan, untuk menuliskannya. Inilah yg akan kutulis tentangnya.

Perempuan itu...yg melambai-lambaikan tangannya dan mencondongkan  setengah badannya di pintu penumpang sebuah angkot. Badannya terlihat agak gembul dengan beberapa gumpal lemak yg tertimbun di balik bagian tubuhnya. Perempuan itu mengenakan celana jins yg terlihat kusam. Baju batik yg rapi membungkus tubuh gemuknya –namun aku pastikan hanya agak gemuk-, dan sebuah jam tangan yg mematut lingkar pergelangan tangannya yg berkulit gelap. Dari belakang angkot itu, aku bingung memastikan pemilik bentuk tubuh itu. Aku sangsi, apakah itu adalah bentuk tubuh seorang laki-laki ataukah peerempuan. Karna potongan rambutnya menyerupai potongan rambut seorang laki-laki, cepak. Tapi aku masih ragu-ragu memastikannya. Perlahan dengan hati-hati aku mempercepat laju motorku mendekati angkot itu. Tapi aku tak ingin mendahuluinya, hanya berusaha menyamping untuk tahu siapa sosok itu. Saat itu, dengan melihat bentuk keseluruhan badannyapun aku bisa saja memastikan bahwa dia adalah seorang laki-laki, tapi sekali lagi aku ragu melihat gerak tubuhnya yg canggung. Dengan tetap menjaga jarak dengan waspada,aku mencoba lagi merapat ke samping angkot itu. dan aku dapati selintas wajah sosok itu terlihat ketika jalan berbelok. Perlahan  aku tersenyum pasti menyakinkan diriku bahwa sosok itu adalah seorang perempuan paruh baya.

Ya.. perempuan itu adalah seorang kenek angkot.  Aku amati cara dia melambai-lambaikan tangannya ke arah luar angkot, sangat terlihat canggung. Entah niatnya untuk menepikan angkot dan membatasi pengguna jalan agar tidak menyelip ke kiri angkot atau hanya sekedar mematut diri sebagai seorang kenek –yg harus melambai-lambaikan tangannya ke luar-. Kuamati lagi, dia tetap melambai-lambaikan tangannya dengan canggung, meelambai-lambai lagi, tapi angkot tak juga menepi ke kiri. Angkot tak juga melambat, tapi dia tetap sesekali melambaikan tanggannya, dan tetap canggung. Sekali lagi melambai dan masih juga terlihat canggung. Aku berpikir kemudian, apakah perempuan itu adalah kenek  yg baru? Atau mungkin dia hanya sementara menggantikan suaminya yg kenek karena sebuah halangan? Atau memang gayanya sebagai seorang kenek memang seperti itu? Aku hanya bisa menerka dan mengira-ngira tidak jelas. Entah apapun itu, yang jelas aku heran dengan pemandanganku kali ini. Dia adalah seorang perempuan paruh baya. Seorang perempuan yang mungkin juga ibu dari anak-anaknya yang sedang menunggu di rumah. Apakah suaminya masih ada? Entahlah, tapi aku terus menerka-nerka.

Sungguh, ada rasa yang enggan, tapi tetap harus dilakukan. Dan ini bukan sebuah keterpaksaan, tapi justru terlihat sebuah ketulusan yang bermakna pengorbanan. Perempuan itu ingin mematut diri menjadi seorang kenek yang berintegritas tinggi. Dan itu adalah sebuah kesungguhan dari sebuah usaha.

Pikiranku berkeliaran lagi dalam perjalanan itu, aku ingat salah satu firman-Nya dalam QS. An-Nisa’ ayat 34 yg artinya, “Laki-laki (suami) itu adalah pemimpin (pelindung) bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yg lain....”. Aku kembali menerka-nerka sembari melihat lambaian-lambaian tangan perempuan itu. Ayat tersebut yg seringkali diperdebatkan oleh para kalangan feminis ttg inequalities dan ketidaksetaraan gender termasuk dalam hal kepemimpinan. Aku merenung sejenak, menyambungkan antara teks dan konteks ini. Aku menemukan titik singgung dari 2 hal ini.  Allah telah memberikan  kelebihan tiap laki-laki dan perempuan dengan kepantasan yang berbeda. Tapi sepertinya kata “kepantasan” itu kurang tepat, mungkin “keluwesan”, yaitu dalam  menggunakan kelebihan masing-masing. Bagiku keluwesan perempuan itu bukan pada pekerjaan menjadi seorang kenek, namun pada pekerjaan lain, semisal memasak, bekerja di salon, restoran, florist, dll.  Sedangkan keluwesan menjadi sopir, kenek, presiden, montir, bekerja di ladang adalah dimiliki oleh laki-laki. Tidak ada keluwesan yang diunggulkan dari keluwesan yang lain, tapi kedua kelebihan ini setara (equal) pada  bagian masing-masing yang berbeda. Namun kebanyakan orang salah jika menafsirkan ayat ini pada suatu asumsi bahwa laki-laki lebih tinggi derajatnya dari pada perempuan, karna “keluwesan” dia dalam memimpin. Bukan itu menurutku, tapi sekali lagi semua mempunyai bagiannya masing. Allah sungguh Maha Adil...subhanallah....
Sekali lagi, aku melihat lambaian-lambaian tangan yg canggung dari perempuan itu...

Aku pun menulis ini bukan untuk menganggap bahwa inilah penafsiranku, tapi aku hanya berusaha memahami realita. Realita yang tak mungkin lepas dari kaidah-Nya. Aku pun tidak menyalahkan "ketidakluwesan" perempuan itu menjadi seorang kenek. aku justru kagum melihat ketangguhan perempuan itu -melakukan hal yg semestinya menjadi bagian laki-laki-.  Sungguh, Tuhan telah menciptakan sebuah paradoks dari ada dan tiada. Keberadaan dari diri perempuan itu sekaligus menjadi ketiadaan diri kita. Itulah kenapa kita selalu terjebak pada jalan fikiran yang “benar menurut kita sendiri” ataupun “baik menurut kita sendiri”. Perempuan itu mungkin tidak kaya akan harta sebagaimana yang kita miliki, namun dia kaya hati, melapangkan kesempitan dalam hatinya yang lebar dalam menerima kenyataan hidup. Bagi kita obat itu pahit, tapi mungkin bagi perempuan itu obat itu selalu manis karena memberikan kesembuhan pada yg sakit.

Aku pastikan, bahwa perempuan paruh baya itu adalah perempuan yang hebat...proud of U...^^

(written on  on Thursday, September 30, 2010 at 9:21pm)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar